Di sebuah ruangan laboratorium. Sulay
sedang melamun memandang api bunsen yang menyala, memanaskan larutan yang ada
di dalam piala gelas, di depannya. Hari ini adalah praktikum pengendapan
pertama kali untuk pelajar kelas satu. Ada yang antusias, ada yang takut-takut
memegang alat gelas, tapi Sulay melamun bukan karena itu. Yang ada di
pikirannya adalah kenyataan bahwa dia benar-benar sekolah di sekolah kimia.
“Empat tahun di sekolah seperti
ini?” tanyanya dalam hati.
Dari sudut lain ruang lab
terdengar teriakan guru pengawas yang terkenal tegas dalam mendidik siswa di
lab.
“Guru-gurunya galak pula.” Sulay
kembali menggerutu dalam hati.
“Sepertinya aku akan drop out.” Tambahnya.
Sulay masih belum terima dirinya
bersekolah di tempat yang bukan ia inginkan. Tidak ada mirip-miripnya sama
sekali dengan yang ia mau. Bahkan berbeda sekali. Di sekolah ini sangat
mengutamakan hitungan dan hapalan pada unsur dan rumus kimia. Sedangkan yang ia
inginkan hanyalah menggambar dan berimajinasi.
Tak jarang ketika guru
menerangkan di depan kelas. Sulay asyik sendiri menggambar di buku barunya yang
bagian belakangnya masih kosong. Dia menggambar karakter imajinasinya atau
kadang komik strip tentang lelucon yang ada di pikirannya. Menggambar di kelas
tentu hal yang membahayakan, kalau ketahuan dia bisa kena hukuman karena
dianggap tidak menghormati guru di depan yang sedang menerangkan.
Lamunan Sulay buyar ketika ada
suara yang melesat masuk ke dalam telinganya.
“Kamu yang pakai kacamata!! Kenapa
bengong saja?! Sudah mendidih itu larutanmu! Cepat ambil pengendapnya!” kata
seorang guru pembina lab.
Sulay panik bahkan lupa apa yang
harus dia tuangkan ke larutan agar terjadi pengendapan. Dia harus berpikir
cepat sebelum larutan itu kembali dingin. Karena penetapan kadar tembaga dalam
terusi harus dilakukan pengendapan dalam suasana hangat.
“Natrium Hidroksida.”
Sulay melirik ke arah suara itu.
Itu suara Manda, perempuan yang jadi teman satu mejanya di lab.
“Buru, pengendapnya NaOH!” kata
Manda menyuruh Sulay untuk segera mengendapkan larutannya yang sudah mulai
berangsur dingin.
Sulay pun meraih botol pereaksi
yang berisi Natrium Hidroksida, lalu menuangkannya ke dalam larutan perlahan-lahan.
Pembina lab mengawasi Sulay sambil mendekat ke arahnya.
Air menetes perlahan dari dinding
piala gelas. Seperti itulah guru-guru pembina berkata tentang cara
mengendapkannya. “Lewat dinding menuangkannya!” katanya. Maksudnya adalah
cairan tidak boleh menetes langsung ke dalam larutan, tapi harus
perlahan-lahan, merambat melalui dinding piala gelas.
Dari tetesan pengendap itu mulai
bermunculan warna biru yang merupakan endapan Cu(OH)2 dalam suasana
panas, endapan ini akan terurai menjadi CuO (tembaga oksida) dan air. Itulah
yang disebut berhasil, ketika yang muncul adalah endapan CuO yang berwarna
hitam.
Tapi sudah lama menetes dan
mengaduk larutannya, Sulay belum menemui endapan hitam itu, yang ada hanya
endapan biru yang mengambang-ngambang.
“Sudah cukup. Kamu gagal! Coba
lagi kalau masih ada waktu!” kata guru pembina sambil menghampiri siswa lain
yang sedang mengendapkan.
Sulay menarik nafas panjang. Ia
gagal pertama kali dalam praktek laboratorium. Padahal dia sudah berusaha dan
hati-hati sekali. Dengan ini dia semakin percaya kalau sekolah ini bukanlah tempat
yang tepat untuknya.
Sulay mencuci alat gelasnya di
wastafel lab. Lalu yang ingin dia lakukan selanjutnya hanyalah duduk melamun
kembali di mejanya. Tapi saat menuju ke mejanya, dia tidak sengaja melihat ke
arah meja yang ada di belakangnya. Di meja itu terdapat buku laporan harian,
yang diatasnya terdapat gambar seseorang laki-laki memakai jaket. Gambar itu
digambar dengan pulpen.
Sulay seperti melihat hantu.
Wajahnya kaget, teriakannya hampir keluar tapi dia tahan karena tidak mau
dimarahi oleh pembina lab.
“Gambar manga?” tanyanya dalam hati.
“Di sekolah seperti ini ada yang
suka menggambar manga juga? Seperti ku?”
Sulay lalu mengambil buku laporan
harian itu. Mengamati dari ujung ke ujung gambar itu sambil berkata “Ini bagus
sekali.” katanya sambil mengusap-usap lembaran kertas itu. Gambar itu memang
bagus, tapi ada yang lebih bagus lagi
menurut Sulay. Yaitu ada orang yang sehobi dengannya di sekolah kimia ini. Satu
kelas pula.
“Hey, ngapain ngusap-ngusap buku
catetan temen gue?” suara Manda terdengar dari sampingnya. Sulay panik lalu
menaruh kembali buku laporan harian itu.
“Engga. Gak kenapa-kenapa.”
“Lu suka sama Asya?” tanya Manda
penuh penasaran sambil memasang wajah menginterogasi dengan alis sedikit
dipicingkan.
“Gue gak tahu siapa Asya, gue cuma
lihat itu gambar tadi bagus banget.”
Sudah dua bulan kelas dimulai
tapi Sulay baru mengenal beberapa kawan di kelasnya. Sisanya adalah orang yang
belum dia kenal karena dia orangnya susah bergaul. Dia tidak biasa memulai
pembicaraan pada orang yang belum dikenalnya.
Dalam hati, Sulay berkata “Jadi namanya
Asya?”. Dia tahu nama seseorang yang menggambar itu tapi dia sama sekali tidak
tahu bagaimana rupanya. Yang dia tahu pasti, Asya adalah perempuan. Karena itu
kenangan tentang masa SMP nya seperti terputar sebentar. Kenangan tentang kawan
lamanya yang jago sekali menggambar. Dalam hati, Sulay mulai menebak-nebak Asya
itu orangnya seperti apa.
“Apa Asya mirip dengan dia ya
orangnya?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Garing kan? Yuk, kata - katain si penjual krispi biar dia males nulis garing lagi. Silahkan isi di kolom komentar.