Pintu kamar belum benar-benar tertutup sampai aku mencoba
masuk ke dalamnya. Sebuah kamar di sudut belakang rumah. Tempat tidur ayah dan
ibuku. Dindingnya yang berwarna putih mencerminkan kebersihan kata ibuku, walau
berulang kali aku mencoba menggambar di atasnya. Tapi tiap itu pula ibuku
dengan sabar menghapusnya.
Kamar itu masih kosong. Padahal seharusnya hari ini ayah
sudah pulang dari tugas luar kotanya. Itu kata ibu dua hari yang lalu. Jadi,
setelah aku melihat ayah belum ada di kamar, aku lari ke arah ibu yang sedang
menjahit di ruang jahitnya, persis sebelah kamar itu.
“Ibu, kenapa ayah belum pulang?”
“Sabar nak.” Jawabnya singkat.
“Sabar melulu, kan ini sudah hari minggu. Harusnya hari ini
ayah sudah berbaring di kamar atau membaca buku novel di meja kerja di
kamarnya.”
“Iya nak, sabar ya.” Aku disuruh sabar lagi.
Aku heran sering sekali aku disuruh sabar oleh Ibu. Aku
ingat tadi pagi aku membeli eskrim cone tapi
kemudian aku terlalu semangat, berlari ke dalam rumah, hasilnya eskrim aku
jatuh. Aku protes, kenapa eskrim ku bisa jatuh. Lalu ibu hanya bilang “Sabar
Nak.” Sambil kemudian mengelap tumpahan eskrim di lantai.
Atau ketika teman bermainku pindah rumah. Teman yang tiada
hari tanpa aku bermain dengannya. Teman yang kapanpun aku panggil selalu ada,
karena dia tinggal di sebelah rumahku. Aku menangis kencang saat mobilnya mulai
melaju meninggalkan rumahnya. Menjauh dari arahku. “Sabar nak.” Kata Ibuku
sambil memelukku dari belakang.
“Kenapa sih bu kita harus sabar?” aku penasaran tentang satu
kata yang selalu diucapkan Ibuku.
“Karena setiap yang ada di dunia ini, tidak akan abadi.”
Aku berpikir sejenak dengan logika anak kecilku. Tidak sampai,
aku tidak mengerti.
“Apa maksudnya bu?”
“Eksrimmu tadi pagi, tidak semua keinginan kita akan
tercapai. Apalagi kalau caranya salah seperti cara mu membawa eskrim tadi.
Berlari begitu, ya jatuhlah.” Kata Ibu sambil membalikan kain yang dijahitnya,
dan memulai menjahit sisi lainnya.
Ibuku melanjutkan “Temanmu yang pindah rumah minggu lalu,
itu karena rumah baru mereka lebih bagus dan kokoh. Rumah yang di sebelah rumah
kita ini hanya kontrakan yang mungkin sebentar lagi roboh karena atapnya rapuh.”
Aku mencoba mencerna perkataan ibu sambil bergumam. “Tapi
kenapa sabar itu sulit bu?”
“Karena sabar itu adalah luar biasa. Itu adalah sifat para
Nabi. Ketika diuji oleh Allah dengan ujian yang luar biasa pula. Ujian untuk
kita belum ada apa-apanya.”
“Kenapa kita harus diuji?”
“Kamu kenapa ujian di sekolah? Iya, ujian itu untuk menaikan
kelas kita menjadi derajat yang lebih tinggi.” Katanya sambil melengkungkan
senyum yang setiap kali aku lihat, kesedihan dan rasa gundahku sirna.
“Baiklah bu, kalau begitu aku sekarang mencoba menjadi
sabar.”
Lalu selepas itu, ibu tersenyum. Kain jahitannya dia taruh
di meja yang ada di belakangnya, lalu berjalan meninggalkan mesin jahitnya, ke
arahku.
“Ayo nak, kita ke makam ayah.”
Lalu aku merasakan kalau gunung mungkin lebih ringan dari
sabar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Garing kan? Yuk, kata - katain si penjual krispi biar dia males nulis garing lagi. Silahkan isi di kolom komentar.