Riki dan kedua temannya masih memandangi dengan seksama
orang yang ada di depannya. Sudah sekiranya sekitar sepuluh menit mereka
begitu. Orang yang di depannya seumuran dengan ia dan kawannya. Sekitar enam
tahun yang berarti masih kelas satu SD. Gaya pakaiannya pun hampir menyerupai,
hanya saja pakaian Riki dan kedua temannya lebih lusuh karena dipakai seharian
bermain di lapangan. Ini hari minggu sore, seharusnya mereka sudah pulang untuk
bersiap sekolah besok.
Dari tempat duduknya, orang yang dipandangi Riki dan
temannya ini tiba-tiba berdiri.
“Mau sampai kapan kalian melihat aku seperti ini?” katanya
dengan nada yang tidak seperti nada bicara anak umur enam tahun pada umumnya.
“Gaya bicaramu aneh. Kamu ngomong apa sih?” kata Riki yang
mencoba mengerti ucapan anak itu yang ditelinganya terdengar sedikit samar.
“Oh, maaf aku akan mengatur converter suaraku ke nada suara anak zaman kalian. Sebentar ya.”
Kemudian anak itu menekan-nekan tombol yang ada di jam di tangan kanannya. Lalu
mengulangi perkataan dia yang tadi. Kaget lah Riki dan kedua temannya mendengar
anak di depannya nada suaranya berubah. Mereka kaget bukan karena suaranya
berubah, namun karena saat menyetel suaranya, anak itu bersuara seperti radio
yang sedang mencari sinyal.
“Kau ini pasti jin yang menyamar ya?” Kata Sapri, salah satu
teman Riki yang selalu percaya hal-hal gaib. Terang saja, orang tuanya adalah orang pintar yang terkenal sekitar situ.
“Bukan.” Kata anak itu singkat, sambil tersenyum. “Aku dari
masa depan. Namaku Senja Kuning yang
Indah, panggil saja Uning.”
katanya melanjutkan.
Lalu Riki dan kedua temannya menampakan ekspresi yang
berbeda. Riki kaget sambil bilang
“Kamu dari masa depan?” dengan sambil mundur ke belakang
tiga langkah.
Sedangkan Sapri berkata “Bohong! Kamu pasti jin. Jam–jam menjelang
maghrib begini pasti banyak jin berkeliaran dan menyamar. Mengaku saja lah!”
anak klenik itu masih tetap berkata
tentang jin sambil memegang tangan Uning. Ia memastikan kalau Uning jin yang
tidak bisa dipegang. Ternyata bisa, lalu ia jadi bingung sendiri.
Sedangkan Jono, teman Riki yang satu lagi tertawa
terpingkal-pingkal mendengar nama anak yang mengaku dari masa depan itu. Ia
tertawa sampai terjatuh ke lantai dan memegang perutnya.
“Itu nama mu? Aneh sekali.” Katanya di sela tertawanya.
“Iya, di zamanku banyak anak-anak yang diberi nama panjang
dan seperti kalimat sastra. Katanya itu kekinian.” Kata Uning sambil tertawa.
Lalu Riki mengkerutkan dahinya sambil menatap kembali Uning
yang ada di depannya.
“Aku mulai sedikit percaya kalau kau dari masa depan. Tapi
aku perlu satu bukti lagi. Dimana mesin waktumu? Pasti kau kesini menggunakan
mesin waktu kan?”
“Ini mesin waktuku.” Kata Uning sambil menunjukan sebuah
album foto.
“Album foto? Kau bercanda?”
“Tentu tidak. Dengan album foto ini aku bisa ke zaman dimana
ayahku masih berumur enam tahun.”
“Bagaimana caranya?” Riki semakin penasaran walau dalam
hatinya lebih condong menganggap Uning sedang berbohong.
“Aku memindainya dengan kamera di arloji ku ini. Di dalamnya
ada software untuk kembali ke masa
dimana foto itu dipindai.” Uning menjelaskan.
Riki, Sapri dan Jono memandang satu sama lain. Riki kembali
bertanya.
“Oke, anggap saja aku percaya kalau kau dari masa depan
karena suaramu bisa kau atur seperti mengatur frekuensi radio. Tapi kenapa kau
ingin ke masa lalu? Aku malah ingin ke masa depan. Pasti teknologi canggih
sekali masa itu.”
“Jangan !” kata Uning dengan tegas.
“Masa depan adalah kehancuran bagi masa anak-anak.” Uning
berkata sambil duduk kembali.
Riki, Sapri, dan Jono kini juga ikut duduk. Mereka berempat
ada di ujung gang kecil yang hanya bisa dilewati dua buah sepeda motor.
“Kehancuran bagaimana?” tanya Riki.
“Di masa depan, perkembangan teknologi memiliki kelebihan
dan kekurangan. Salah satu kekurangannnya adalah membuat anak-anak menjadi
lebih sedikit bermain keluar rumah, mengetahui hal-hal yang tidak boleh untuk
anak, dan cenderung menjadi dewasa sebelum waktunya.”
Riki ingin bertanya, wajahnya sedikit menampakkan
kebingungan. Tapi tangan Uning memberikan isyarat untuk tidak memotong
ceritanya dahulu.
“Ayahku pernah cerita tentang masa kecilnya. Ia sering
bermain bersama teman-temannya di luar rumah. Bermain petak umpet, galasin,
uler naga, benteng, dan masih banyak lagi. Aku hanya tahu namanya, bahkan tidak
tahu itu permainan seperti apa.”
Lalu Uning kembali menjelaskan bahwa di masa depan. Setiap
anak memiliki smartphone yang
menyebabkan anak itu bisa browsing di
internet semaunya. Sehingga mendapatkan informasi tanpa sensor yang menyebabkan
anak itu menjadi suka bicara kasar, bertingkah seperti orang dewasa seperti
pacaran atau berjoget-joget tidak jelas, dan tercemar pergaulan salah seperti
merokok atau seks bebas.
Belum sampai akhir kalimat, Riki sudah tidak dapat
membendung pertanyaannya. Tapi karena terlalu banyak pertanyaan di pikirannya.
Ia memilih salah satu untuk ditanyakan.
“Smartphone? apa
itu?”
“Itu mirip handphone pada
zaman kalian hanya saja lebih canggih.”
Riki mengangguk. Gantian Sapri yang bertanya.
“Apakah di masa depan ada hantu?” pertanyaan yang tidak
penting tapi Uning tetap menjawabnya dengan tersenyum. “Kami sudah tidak percaya
hantu lagi.”
Sedangkan Jono hanya mengulang pertanyaan Riki yang di awal “Lalu,
mengapa kau ingin ke zaman ini?”
Uning menghela nafas sejenak. Lalu kembali merangkai
katanya.
“Aku ingin menjadi anak yang lebih bahagia bermain bersama
teman-teman. Tumbuh selayaknya anak-anak. Bukan menjadi anak yang tercemar dan
bertingkah tidak biasa. Pada masaku, anak-anak itu sering disebut Kids Zaman Now.”
“Lalu apa yang bisa kami lakukan?” kata Riki.
“Ajak aku bermain mulai besok pagi !” kata Uning sambil
tersenyum memancarkan semangat.
“Tidak bisa, besok pagi kita semua sekolah.”
“Ah, aku lupa kalian sekolah masih harus pergi ke sekolah
ya. Kalau di masa depan, tinggal buka komputer saja. E-learning namanya.”
Mendengar itu Riki, Sapri dan Jono tidak mengerti maksud
perkataan Uning.
“Ah sudah lupakan kataku tadi. Baiklah akan aku tunggu sampai
sore besok hari.”
Mereka bertiga mengangguk mendengar perkataan Uning.
“Baiklah, akan aku tunjukan bagaimana kami biasa menikmati
hari sore. Untuk sekarang, kau boleh tinggal di rumahku.” Kata Riki.
Uning mengangguk dan kemudian mereka berempat berpisah di
ujung gang yang lain. Riki dan Uning tetap bersama hingga sampai ke dalam rumah
Riki. Riki memperkenalkan Uning kepada ibunya. Tapi tidak bilang kalau Uning
dari masa depan. Ia hanya bilang kalau Uning adalah temannya yang ingin menginap
semalam saja.
Kemudian esok harinya Riki pergi ke sekolah. Sebelumnya Riki
mengajak Uning untuk pergi ke kelas juga. Tapi Uning menolak dan menunggu saja
di lapangan dekat sekolah Riki sambil menikmati suasana pagi hari di zaman yang
ia sebut masa lalu.
Sepulangnya dari sekolah, Riki tidak melihat Uning di
lapangan. Riki berpikir kalau ia mungkin sudah kembali ke rumah. Sesampainya di
rumah, ia bertanya kepada ibunya.
“Bu, Uning ada di kamar?”
“Uning?” kata ibunya bertanya.
“Iya bu, teman Riki yang kemarin menginap.”
“Uning siapa? Kamu punya teman khayalan Rik?”
Riki kaget kalau ibunya lupa dengan keberadaan Uning padahal
kemarin sore ia memperkenalkan Uning. Tapi usahanya untuk mengingatkan ibunya
yang lupa malah menjadi tuduhan kalau ia sudah memiliki kelainan jiwa dan bila
tetap bertanya tentang Uning, ia akan dibawa ke psikiater.
Dengan lesu Riki berjalan ke arah lapangan tempat biasa ia
dan temannya bermain. Lalu ia pergi mendekati Sapri dan Jono. Menceritakan apa
yang terjadi tadi di rumah kalau Uning menghilang dan Ibunya tidak mengingat
Uning.
Beruntunglah Sapri dan Jono mengingatnya. Mereka kaget
mendengar cerita Riki. Lalu mereka sepakat bahwa Uning adalah seperti yang
diduga Sapri kemarin sore.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Garing kan? Yuk, kata - katain si penjual krispi biar dia males nulis garing lagi. Silahkan isi di kolom komentar.