Gak kerasa udah sekitar tiga bulan gue dan temen – temen gue
menggauli mess merah. Menggauli para penunggunya juga tentunya. Penunggunya
bukan hantu, melainkan kucing liar yang gak sengaja masuk, beberapa ikan mujair
dan satu lele raksasa di kolam tengah. Kita sudah mulai terbiasa dengan
kejadian aneh (gue sih gak ngerasa, temen gue yang sok peka gitu), juga dengan
suasananya, tapi satu hal yang gue belum bisa terbiasa. Gue belum terbiasa
menggunakan toilet duduk di kamar mandi.
Ada tiga kamar mandi di mess merah. Ketiganya pula toiletnya
model duduk. Gue bingung dengan pola pikir si penghuni mess merah yang
sebelumnya. Apa dia tidak pernah
merasakan betapa syahdunya menggunakan toilet jongkok?
Menurut gue toilet duduk itu tidak manusiawi. Karena saat
duduk, seharusnya kita tidak mengeluarkan sesuatu yang kotor. Toilet duduk juga
mengadopsi dari budaya barat. Mereka menggunakan toilet duduk, agar mudah
membaca koran atau majalah saat mereka buang air. Kita orang Indonesia. Lagi
duduk biasa aja, belum tentu mau baca buku. Apalagi kalau sambil ngeden?
Headline news di koran jadi berasa berita negatif semua.
Toilet duduk juga mempersulit keluarnya zat yang harus
dikeluarkan (sebut saja dia lele emas). Entah kenapa saat gue menggunakan
toilet duduk, lele emas seakan tidak ingin keluar. Padahal tadinya kebelet
banget. Itu sama seperti saat gue suka banget sama cewek. Eh pas jadian, gue
malah jadi homo. Kan kampret.
Terlebih lagi toilet di mess gue. Keadaannya udah tidak
layak untuk di-lele emas-kan. Kebiasaan gue saat menggunakan toilet duduk
adalah tetap jongkok di atasnya. Emang rada aneh, tapi ini gue lakukan biar
proses pengeluaran berjalan baik. Tapi setiap waktu gue berusaha jongkok diatas
toiletnya, toiletnya bergoyang. Entah apa yang terjadi. Gue cek sekitar, gak
ada yang lagi dangdutan.
Inti dari semuanya, gue gak suka toilet duduk sampe tiga
bulan terakhir ini. Gue lebih mending nahan lele emas sampai kantor dan buang
di toilet kantor yang masih toilet jongkok. Toilet jongkok lebih manusiawi, percayalah.
Saat gue lagi melamun di kantor. Memikirkan toilet mess
merah yang tetap harus digunakan dalam posisi duduk (kalo jongkok diatasnya,
dia goyang). Juga akhir – akhir ini ada pemboker
misterius yang boker gak disiram. Pelakunya masih belum ketahuan. Tersangka
utama sih merujuka kepada si kamvyet. Karena dia yang terakhir menggunakan
toilet saat malam hari. Pagi harinya, Putra melihat sosok lele kuning itu sudah
mengambang bebas di toilet. Putra menjerit kegirangan ketakutan. Gue
menenangkan sambil bilang
‘tenang put, itu hanya lele kuning.” Lalu mem-flush nya. Hilang. Tertelan toilet.
Tapi beberapa detik kemudian, lele kuning itu muncul lagi.
Gue yang menjerit. Penghuni mess berdatangan.
Hal yang sama terjadi esok harinya. Penghuni mess mengadakan
rapat. Saling bersumpah bahwa benda emas itu bukan miliknya. Gue juga yakin
banget itu bukan punya gue. Gue akhir – akhir ini lebih sering action di toilet kantor. Saat semuanya
mengaku bukan pelakunya. Berarti semua mata tertuju pada kamvryet. Kami sepakat
menuduh kamvryet pemilik benda emas itu. Tapi itu hanya menjadi prasangka
karena kita tidak menanyakannya langsung. Takut dia nangis dan bilang.
“Enak aja, itu bukan punya aku. Punya aku tuh warna pink,
ada bunganya.”
Dengan nada bencong baru ganti kelamin.
Lamunan gue buyar, saat gue melihat email di komputer. Email
itu dari HRD. Entah apa isinya. Gue coba buka dan baca. Isinya tentang
perpindahan mess. Lagi.
“Pindah mess lagi?” gue menggerutu dalam hati.
Gue dan para penghuni mess merah lainnya harus pindah ke
mess basement di kantor karena mess merah katanya ingin di renovasi. Gue pernah
ke mess basement. Tempatnya ada di bawah tanah dan begitu dekat dengan kantor.
Kepleset becekan pun sampai. Banyak beberapa kelebihan dari mess basement,
seperti lebih dekat dengan kantor, ada Tvnya, dan juga full wifi. Gue jadi bisa
ngirit gak beli paket data selama ada di mess. Otak padang gue bekerja dengan
baik.
Gue balas email HRD itu. Menyatakan siap untuk pindah. Tiga
hari lagi gue meminta waktu untuk bersiap.
Saat pulang ke mess, gue bilang ke seluruh penghuni mess
(kecuali kamvryet yang diem aja) tentang perpidahan mess (lagi) ini. Ada yang
seneng, ada yang males.
“Duh mas, kok pindah lagi ya, perasaan baru sebulan disini.”
Putra menggerutu
Dia nampaknya sangat menikmati mess ini sehingga tiga bulan jadi serasa sebulan.
Gue menjelaskan tentang keharusan kita pindah. Penghuni mess
mengangguk. Mulai hari itu kita bersiap pindah. Mengemas barang dan keperluan.
Seperti perpisahan pada umumnya, seperti perpisahan dengan
mess putih yang lalu. Selalu saja ada cuplikan kecil yang tiba – tiba terputar.
Bagaimana lucunya gue ketakutan saat penghuni mess pada nyetel radio serem di
mess pas malem jum’at. Bagaimana paniknya putra saat memberi tahu ada kucing
mati di ruang tengah. Semua terlintas begitu saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Garing kan? Yuk, kata - katain si penjual krispi biar dia males nulis garing lagi. Silahkan isi di kolom komentar.