Di ruang tengah rumah gue terdengar suara obrolan yang gue kenali suara itu
adalah suara orang tua gue. Bapak dan Ibu gue sedang disana mengobrol santai
seperti layaknya pasangan suami istri di hari minggu pagi. Gue rasa ini
kesempatan gue untuk obrolin tentang sekolah lanjutan gue setelah SMP. Gue pun
menuju ruang tengah sambil membawa selembar kertas.
"Bu, Pak. Jadinya Ilham lanjut ke sekolah mana ya?" Tanya
gue membuka obrolan sambil menuju kursi untuk duduk.
"Ya, kamu maunya dimana?" Kata Bapak gue.
Dan inilah saatnya gue mengeluarkan selembar kertas yang gue bawa tadi. Diatas
lembar kertas ini sudah ada gambar ilustrasi karakter bergaya Jepang (Manga)
yang gue buat tadi malam.
"Ini Pak, Bu, bagus gak gambaran Ilham?" Kata gue sambil
menyodorkan kertas itu ke mereka.
"Wah, bagus." Kata Ibu gue singkat
"Mantap sekali ini, kamu benar-benar nurun Bapak. Bapak dulu juga jago
gambar" Kata Bapak gue dengan ekspresi bangga.
"Apanya, gambar cicak aja jadi kayak kucing.." Ibu gue menimpali
"Ah Ibu, kalau ngomong. Suka Pas." Kata Bapak gue pasrah.
Ebuset, gambar cicak jadi kucing gimana ceritanya? itu cicak operasi
spesies?
"Iya Bu, Pak. Jadi Ilham pengen nerusin sekolah ke sekolah seni. Buat
memperdalam hobi menggambar." Kata gue to the point.
"Ya, kalau bapak sih setuju saja."
Oke sip, satu poin. Tapi Ibu gue berbeda,
ekspresinya berubahh menunduk dan mulai menarik nafas untuk bicara sesuatu. sepertinya Ibu gue agak keberatan.
"Begini Ham, menurut Ibu, hobi menggambarmu ini dijadikan hobi saja.
Bukan profesi. Karena, profesi itu harus yang serius, Nak."
"Ilham serius menekuni ini kok Bu." Jawab gue dengan nada lembut.
"Bukan begitu, maksudnya harus yang sudah pasti akan baik untuk ke
depannya. Kalau kamu nanti jadi penggambar seperti itu, apakah sudah pasti
dapat kerjaan nantinya?"
Gue diam menunduk. Sambil berpikir kalau omongan Ibu gue ada benarnya.
Profesi seni seperti menggambar, desain, atau pemusik kurang terjamin di
Indonesia. Mungkin maksud Ibu gue begitu. Atau kalau bahasa kasarnya
"Kamu kalau jadi penggambar, mau makan apa?"
Makan nasi lah tetep. Masa makan pensil.
Tapi untungnya Ibu gue tidak berkata begitu. Tapi gue tahu maksudnya. Dia
pengen gue jadi profesi yang pasti-pasti aja (bukan kerja di pom bensin tapi).
Gue jadi makin bingung untuk lanjutin sekolah dimana. Pertanyaan gue belum
di jawab. Tapi yang pasti keinginan gue untuk sekolah lanjutan di bidang gambar
sudah sedikit terjawab. Hal itu, agaknya mustahil.
Ruang tengah menjadi seperti ruang sidang bagi gue. Gue yang duduk di tengah
seperti terdakwa. Ibu gue seperti hakim, menjatuhkan vonis bahwa hobi gue harus
menjadi hobi saja. Dan Bapak gue? dia asik ngopi di kursi penonton.
"Kamu lanjut ke Sekolah Kimia Bogor aja." Kata Ibu gue sambil
membuka membuka ponselnya. Sepertinya ingin menunjukan sesuatu.
"Sekolah Kimia? Bu, di SMP aja Ilham nilai kimianya jelek. Waktu
praktek di lab aja hampir ketumpahan cairan kimia." Kata gue dengan nada
memelas.
Oh iya tentu gue sangat kaget dengan saran Ibu gue ini. Sekolah kimia yang
berarti gue sekolah disitu bakalan banyak belajar kimia. Secara teori dan
praktek. Dan dari pengalaman gue selama ini dengan Kimia di SMP. Nilai terbaik
gue adalah 67 dan prestasi terbaik gue waktu praktek adalah numpahin cairan
kimia di Lab.
Apa yang akan terjadi kalau gue sekolah disana? Gue bisa aja tiba tiba salah
nyampurin cairan, tau-tau jadi formula bahan peledak. Tau-tau meledak, dan gue
jadi godzilla.
Oke ini lebay.
Tapi betulan kalau kimia gue payah sekali. Waktu SMP gue sempet dibuat
bingung kenapa lambang kalsium harus "Ca" kenapa engga
"K". Dan yang lebih bingung lagi, kenapa perak lambangnya
"Ag". Apa karena perak itu warnanya "Agak
Gelap"? Oke itu gue ngasal.
Dengan segala kegundahan gue, Ibu gue melanjutkan argumennya.
"Ya justru karena kamu gak bisa kimia, dan kamu ceroboh.
Makanya masuk sekolah kimia biar ngerti dan jadi hati-hati orangnya"
Gue diem.
"Tetangga Ibu, dulu sekolah disana, dan habis lulus
langsung dapat kerja. Itu tandanya lulusan sekolah itu terjamin kerja. Katanya tahun ini bulan depan buka pendaftarannya" Kata Ibu sambil menunjukan SMS dari tetangganya.
Gue melirik ke arah Bapak.
"Coba saja dulu ikut tesnya, Nak." Kata Bapak.
"Baiklah, Pak, Bu." Jawab gue sambil terhuyung lemas menuju kamar
dan membawa kertas gambar gue yang nampaknya tidak berguna dalam meyakinkan
kedua orang tua gue untuk sekolah di bidang gambar.
Sambil berjalan ke kamar gue berpikir tentang ucapan Bapak gue tadi.
"Coba aja dulu ikut tesnya". Berarti ini masih ada harapan. Masih ada
harapan gue gak sekolah di sekolah kimia ini, kalau gue asal aja ngisi soal tesnya. (Tertawa jahat)
Hari tes tiba, hari ini gue pergi untuk tes masuk di
sekolah kimia itu bersama dua tetangga gue yang kebetulan ikut tes juga. Kita
pergi ke sana diantar oleh ayah salah satu tetangga gue, naik mobil dia.
Sedari tadi dua orang tetangga gue ini membaca
soal-soal latihan dan soal ujian tahun-tahun sebelumnya. Wajah mereka
menampakan tanda kecemasan dan kekhawatiran akan sulitnya soal tes nanti.
Sedangkan gue? Daritadi gue cuman ngegambar di buku tulis kecil sambil berkhayal,
akhirnya gue menemukan cara biar gak sekolah di sekolah kimia ini. Gue isi
tesnya asal aja. (Tertawa jahat season 2)
Orang yang ngisi tes serius aja belum tentu keterima.
Apalagi kalau gue asal-asalin? Ah, gue memang cerdas. Kalau gue satu zaman sama
Einstein, pasti Einstein nyontek PR gue. (ngasal kok cerdas)
Ayah tetangga gue mengantar sampai depan gerbang
saja. Karena waktu itu banyak sekali mobil yang terparkir di dalam. Saat
melangkah menuju gerbang, tiba-tiba handphone gue berbunyi. Ternyata telepon
dari Ibu.
“Ham, udah sampai?” Tanyanya.
“Sudah, Bu. Baru saja. Ini sedang menuju ruangan
tes.”
“Sudah dimakan sarapan rotinya?”
“Sudah juga.”
“Bagus.” Katanya singkat.
“Ham, semoga kamu dapat nilai yang baik dan lulus
tes ya.” Kata Ibu gue mendoakan.
Waduh, didoain. Manjur nih biasanya. Yah, masa gue
harus masuk ke sekolah ini? Eh tapi ga mungkin kalau gue jawabnya tetep ngasal.
(Tertawa jahat season 3).
Dan ternyata doa Ibu gue berlanjut.
“Semoga kamu ngerjainnya sungguh-sungguh dan teliti.
Ibu berharap sekali kamu bisa masuk sekolah ini. Bukan Ibu memaksakan, Ham.
Tapi ini demi kebaikan kamu dan masa depan kamu. Agar kamu bahagia.”
Gue mengheningkan cipta. Gue tak berkutik mendengar
ucapan Ibu yang begitu dalam maknanya ini. Kalau di sekeliling gue gak banyak
orang. Pasti gue udah nangis. Tapi gue tahan karena takut dikira nangis karena
gak dianter sekolah. (emangnya anak TK?).
Gak ada kata yang bisa gue ucap selain.
“Aamiin, Bu. Terimakasih doanya.”
Percakapan via telepon itu ditutup dan menghapus
semua rencana gue untuk ngisi ngasal jawaban tes. Penghapus rasa itu adalah
berupa harapan Ibu gue yang sepertinya sangat amat dalam gue bisa sekolah
disini. Gue gak mau jadi malin kundang modern cuma karena pilihan sekolah aja.
Sedari kecil gue paling gak bisa nolak perintah atau
keinginan Ibu. Selain karena Ibu gue orangnya tegas (ya, boleh dibilang galak
sih). Gue yang dari kecil udah ikutan ngaji di deket perumahan selalu
diingatkan oleh guru ngaji. Katanya kita jangan sekali-sekali melawan atau
durhaka pada orang tua. Kalau itu terjadi, maka habislah, kita manusia yang
sangat merugi. Maka dari itu, ucapan Ibu gue barusan sangat berefek.
Lima menit sebelum bel masuk ruangan. Gue baru punya
niat untuk ngisi jawaban dengan benar. Gue pun panik. Tapi tetap stay cool sambil bolak balik lembaran
soal latihan.
Sama seperti mayoritas peserta tes lain disekitar
gue. Dari tadi yang mereka lakukan hanya membolak balik kertas soal latihan. Tapi
mungkin, mereka belajar karena memang sangat ingin masuk sekolah ini.
Mungkin diantara mereka ada yang ingin sekali
menjadi ahli kimia. Ingin sekali bisa praktek menggunakan jas lab. Atau ingin
sekali dipandang keren di masyarakat. Jadi, kalau ditanya orang di jalan.
“Kamu sekolah dimana?”
“Sekolah Kimia!”
“Ampun, jangan siram saya pakai air keras.”
Sedangkan gue. Gue berusaha lulus tes bukan karena
pengen masuk sekolah ini. Tapi karena orang tua pengen gue masuk sekolah ini.
“Haloo, jadi gimana? Kepaksa ya masuk sekolah ini?
Gak suka kimia?” Lamunan gue tentang tes masuk sekolah sebulan lalu buyar
dengan pertanyaan Kak Ridwan yang sudah diulang dua kali.
“Gak kepaksa sih kak. Ngikut maunya orang tua aja.
Sama kimia sih suka. Tapi kimia gak suka sama saya sepertinya.”
Kelas langsung bergemuruh tawa mendengar lawakan gue
yang garing.
“Ah bisa saja kamu. Yasudah, lanjut perkenalan yang
sebelahnya.” Kata Kak Ridwan menunjuk orang sebelah gue.
Gue kembali duduk setelah berkenalan di kelas. Tapi
sambil duduk itu gue kembali berpikir kata-kata Ibu gue di telpon waktu itu.
“Agar kamu bahagia”
Bukankah yang paling tahu tentang kebahagian gue
adalah gue sendiri? Ah bisa jadi engga, mungkin orang tua lebih tahu.
Walau gue merasa ucapan Ibu gue tentang kebahagiaan
sekolah di sekolah kimia ini masih gue anggap mitos. Tapi baiklah, gue akan
coba berjuang dahulu di sekolah yang katanya mahir sekali membuat
pelajar-pelajarnya stress.
Dalam hati, gue membalikan kata-kata dari Ibu gue
itu.
“Baik Bu, Aku sudah lulus ujian tes masuk. Aku anak sekolah kimia sekarang. Walau berat. Tapi semuanya. Agar kamu bahagia, Bu.”
Lalu gue izin ke toilet buat ngelap air mata.
Besok aku mau bilang sama abang tukang koran,aku langganan tulisan kamu. 😂😂
BalasHapusJeng jeng jeng...
BalasHapusJeng jeng jeng...
BalasHapus