23 Mar 2018

Bukan Kisah Putih Abu #2 : Agar Kamu Bahagia


Di ruang tengah rumah gue terdengar suara obrolan yang gue kenali suara itu adalah suara orang tua gue. Bapak dan Ibu gue sedang disana mengobrol santai seperti layaknya pasangan suami istri di hari minggu pagi. Gue rasa ini kesempatan gue untuk obrolin tentang sekolah lanjutan gue setelah SMP. Gue pun menuju ruang tengah sambil membawa selembar kertas.


 "Bu, Pak. Jadinya Ilham lanjut ke sekolah mana ya?" Tanya gue membuka obrolan sambil menuju kursi untuk duduk.


"Ya, kamu maunya dimana?" Kata Bapak gue.


Dan inilah saatnya gue mengeluarkan selembar kertas yang gue bawa tadi. Diatas lembar kertas ini sudah ada gambar ilustrasi karakter bergaya Jepang (Manga) yang gue buat tadi malam.


"Ini Pak, Bu, bagus gak gambaran Ilham?" Kata gue sambil menyodorkan kertas itu ke mereka.


"Wah, bagus." Kata Ibu gue singkat


"Mantap sekali ini, kamu benar-benar nurun Bapak. Bapak dulu juga jago gambar" Kata Bapak gue dengan ekspresi bangga.


"Apanya, gambar cicak aja jadi kayak kucing.." Ibu gue menimpali


"Ah Ibu, kalau ngomong. Suka Pas." Kata Bapak gue pasrah.


Ebuset, gambar cicak jadi kucing gimana ceritanya? itu cicak operasi spesies?


"Iya Bu, Pak. Jadi Ilham pengen nerusin sekolah ke sekolah seni. Buat memperdalam hobi menggambar." Kata gue to the point.


"Ya, kalau bapak sih setuju saja."


Oke sip, satu poin. Tapi Ibu gue berbeda, ekspresinya berubahh menunduk dan mulai menarik nafas untuk bicara sesuatu. sepertinya Ibu gue agak keberatan.


"Begini Ham, menurut Ibu, hobi menggambarmu ini dijadikan hobi saja. Bukan profesi. Karena, profesi itu harus yang serius, Nak."


"Ilham serius menekuni ini kok Bu." Jawab gue dengan nada lembut.


"Bukan begitu, maksudnya harus yang sudah pasti akan baik untuk ke depannya. Kalau kamu nanti jadi penggambar seperti itu, apakah sudah pasti dapat kerjaan nantinya?"


Gue diam menunduk. Sambil berpikir kalau omongan Ibu gue ada benarnya. Profesi seni seperti menggambar, desain, atau pemusik kurang terjamin di Indonesia. Mungkin maksud Ibu gue begitu. Atau kalau bahasa kasarnya


"Kamu kalau jadi penggambar, mau makan apa?"


Makan nasi lah tetep. Masa makan pensil.

Tapi untungnya Ibu gue tidak berkata begitu. Tapi gue tahu maksudnya. Dia pengen gue jadi profesi yang pasti-pasti aja (bukan kerja di pom bensin tapi).


Gue jadi makin bingung untuk lanjutin sekolah dimana. Pertanyaan gue belum di jawab. Tapi yang pasti keinginan gue untuk sekolah lanjutan di bidang gambar sudah sedikit terjawab. Hal itu, agaknya mustahil.


Ruang tengah menjadi seperti ruang sidang bagi gue. Gue yang duduk di tengah seperti terdakwa. Ibu gue seperti hakim, menjatuhkan vonis bahwa hobi gue harus menjadi hobi saja. Dan Bapak gue? dia asik ngopi di kursi penonton.


"Kamu lanjut ke Sekolah Kimia Bogor aja." Kata Ibu gue sambil membuka membuka ponselnya. Sepertinya ingin menunjukan sesuatu.


"Sekolah Kimia? Bu, di SMP aja Ilham nilai kimianya jelek. Waktu praktek di lab aja hampir ketumpahan cairan kimia." Kata gue dengan nada memelas.


Oh iya tentu gue sangat kaget dengan saran Ibu gue ini. Sekolah kimia yang berarti gue sekolah disitu bakalan banyak belajar kimia. Secara teori dan praktek. Dan dari pengalaman gue selama ini dengan Kimia di SMP. Nilai terbaik gue adalah 67 dan prestasi terbaik gue waktu praktek adalah numpahin cairan kimia di Lab.


Apa yang akan terjadi kalau gue sekolah disana? Gue bisa aja tiba tiba salah nyampurin cairan, tau-tau jadi formula bahan peledak. Tau-tau meledak, dan gue jadi godzilla.


Oke ini lebay.


Tapi betulan kalau kimia gue payah sekali.  Waktu SMP gue sempet dibuat bingung kenapa lambang kalsium harus "Ca" kenapa engga "K".  Dan yang lebih bingung lagi,  kenapa perak lambangnya "Ag".  Apa karena perak itu warnanya "Agak Gelap"?  Oke itu gue ngasal.


Dengan segala kegundahan gue,  Ibu gue melanjutkan argumennya. 


"Ya justru karena kamu gak bisa kimia,  dan kamu ceroboh.  Makanya masuk sekolah kimia biar ngerti dan jadi hati-hati orangnya"


Gue diem. 


"Tetangga Ibu,  dulu sekolah disana,  dan habis lulus langsung dapat kerja. Itu tandanya lulusan sekolah itu terjamin kerja. Katanya tahun ini bulan depan buka pendaftarannya" Kata Ibu sambil menunjukan SMS dari tetangganya.


Gue melirik ke arah Bapak. 


"Coba saja dulu ikut tesnya, Nak." Kata Bapak. 


"Baiklah, Pak, Bu." Jawab gue sambil terhuyung lemas menuju kamar dan membawa kertas gambar gue yang nampaknya tidak berguna dalam meyakinkan kedua orang tua gue untuk sekolah di bidang gambar. 


Sambil berjalan ke kamar gue berpikir tentang ucapan Bapak gue tadi.  "Coba aja dulu ikut tesnya". Berarti ini masih ada harapan. Masih ada harapan gue gak sekolah di sekolah kimia ini, kalau gue asal aja ngisi soal tesnya. (Tertawa jahat) 

Hari tes tiba, hari ini gue pergi untuk tes masuk di sekolah kimia itu bersama dua tetangga gue yang kebetulan ikut tes juga. Kita pergi ke sana diantar oleh ayah salah satu tetangga gue, naik mobil dia.

Sedari tadi dua orang tetangga gue ini membaca soal-soal latihan dan soal ujian tahun-tahun sebelumnya. Wajah mereka menampakan tanda kecemasan dan kekhawatiran akan sulitnya soal tes nanti. Sedangkan gue? Daritadi gue cuman ngegambar di buku tulis kecil sambil berkhayal, akhirnya gue menemukan cara biar gak sekolah di sekolah kimia ini. Gue isi tesnya asal aja. (Tertawa jahat season 2)


Orang yang ngisi tes serius aja belum tentu keterima. Apalagi kalau gue asal-asalin? Ah, gue memang cerdas. Kalau gue satu zaman sama Einstein, pasti Einstein nyontek PR gue. (ngasal kok cerdas)


Ayah tetangga gue mengantar sampai depan gerbang saja. Karena waktu itu banyak sekali mobil yang terparkir di dalam. Saat melangkah menuju gerbang, tiba-tiba handphone gue berbunyi. Ternyata telepon dari Ibu.


“Ham, udah sampai?” Tanyanya.


“Sudah, Bu. Baru saja. Ini sedang menuju ruangan tes.” 


“Sudah dimakan sarapan rotinya?”


“Sudah juga.”


“Bagus.” Katanya singkat.


“Ham, semoga kamu dapat nilai yang baik dan lulus tes ya.” Kata Ibu gue mendoakan.


Waduh, didoain. Manjur nih biasanya. Yah, masa gue harus masuk ke sekolah ini? Eh tapi ga mungkin kalau gue jawabnya tetep ngasal. (Tertawa jahat season 3).

Dan ternyata doa Ibu gue berlanjut.


“Semoga kamu ngerjainnya sungguh-sungguh dan teliti. Ibu berharap sekali kamu bisa masuk sekolah ini. Bukan Ibu memaksakan, Ham. Tapi ini demi kebaikan kamu dan masa depan kamu. Agar kamu bahagia.”


Gue mengheningkan cipta. Gue tak berkutik mendengar ucapan Ibu yang begitu dalam maknanya ini. Kalau di sekeliling gue gak banyak orang. Pasti gue udah nangis. Tapi gue tahan karena takut dikira nangis karena gak dianter sekolah. (emangnya anak TK?).


Gak ada kata yang bisa gue ucap selain.


“Aamiin, Bu. Terimakasih doanya.”


Percakapan via telepon itu ditutup dan menghapus semua rencana gue untuk ngisi ngasal jawaban tes. Penghapus rasa itu adalah berupa harapan Ibu gue yang sepertinya sangat amat dalam gue bisa sekolah disini. Gue gak mau jadi malin kundang modern cuma karena pilihan sekolah aja. 


Sedari kecil gue paling gak bisa nolak perintah atau keinginan Ibu. Selain karena Ibu gue orangnya tegas (ya, boleh dibilang galak sih). Gue yang dari kecil udah ikutan ngaji di deket perumahan selalu diingatkan oleh guru ngaji. Katanya kita jangan sekali-sekali melawan atau durhaka pada orang tua. Kalau itu terjadi, maka habislah, kita manusia yang sangat merugi. Maka dari itu, ucapan Ibu gue barusan sangat berefek.


Lima menit sebelum bel masuk ruangan. Gue baru punya niat untuk ngisi jawaban dengan benar. Gue pun panik. Tapi tetap stay cool sambil bolak balik lembaran soal latihan.


Sama seperti mayoritas peserta tes lain disekitar gue. Dari tadi yang mereka lakukan hanya membolak balik kertas soal latihan. Tapi mungkin, mereka belajar karena memang sangat ingin masuk sekolah ini. 


Mungkin diantara mereka ada yang ingin sekali menjadi ahli kimia. Ingin sekali bisa praktek menggunakan jas lab. Atau ingin sekali dipandang keren di masyarakat. Jadi, kalau ditanya orang di jalan.


“Kamu sekolah dimana?”


“Sekolah Kimia!”


“Ampun, jangan siram saya pakai air keras.”


Sedangkan gue. Gue berusaha lulus tes bukan karena pengen masuk sekolah ini. Tapi karena orang tua pengen gue masuk sekolah ini.

 -------------------------
 
“Haloo, jadi gimana? Kepaksa ya masuk sekolah ini? Gak suka kimia?” Lamunan gue tentang tes masuk sekolah sebulan lalu buyar dengan pertanyaan Kak Ridwan yang sudah diulang dua kali.


“Gak kepaksa sih kak. Ngikut maunya orang tua aja. Sama kimia sih suka. Tapi kimia gak suka sama saya sepertinya.” 


Kelas langsung bergemuruh tawa mendengar lawakan gue yang garing.


“Ah bisa saja kamu. Yasudah, lanjut perkenalan yang sebelahnya.” Kata Kak Ridwan menunjuk orang sebelah gue.


Gue kembali duduk setelah berkenalan di kelas. Tapi sambil duduk itu gue kembali berpikir kata-kata Ibu gue di telpon waktu itu. 


“Agar kamu bahagia”


Bukankah yang paling tahu tentang kebahagian gue adalah gue sendiri? Ah bisa jadi engga, mungkin orang tua lebih tahu.


Walau gue merasa ucapan Ibu gue tentang kebahagiaan sekolah di sekolah kimia ini masih gue anggap mitos. Tapi baiklah, gue akan coba berjuang dahulu di sekolah yang katanya mahir sekali membuat pelajar-pelajarnya stress.


Dalam hati, gue membalikan kata-kata dari Ibu gue itu.


“Baik Bu, Aku sudah lulus ujian tes masuk. Aku anak sekolah kimia sekarang. Walau berat. Tapi semuanya. Agar kamu bahagia, Bu.”


Lalu gue izin ke toilet buat ngelap air mata.

3 komentar:

Garing kan? Yuk, kata - katain si penjual krispi biar dia males nulis garing lagi. Silahkan isi di kolom komentar.

Penikmat Crispy

Pemakan Crispy

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...