31 Mar 2018

Sabar

Pintu kamar belum benar-benar tertutup sampai aku mencoba masuk ke dalamnya. Sebuah kamar di sudut belakang rumah. Tempat tidur ayah dan ibuku. Dindingnya yang berwarna putih mencerminkan kebersihan kata ibuku, walau berulang kali aku mencoba menggambar di atasnya. Tapi tiap itu pula ibuku dengan sabar menghapusnya.

30 Mar 2018

Tentang Kematian

Innalillahi wa inna'ilaihi rajiun.

Sungguh pengingat terbaik adalah kematian.

Dalam sepuluh hari ini Allah mengingatkan saya untuk bertaubat melalui kematian keluarga terdekat saya.

Sepuluh hari yang lalu, kakak dari bapak saya, Pakde. Meninggal karena sakit.

Sehari sebelum meninggal beliau masih bisa dijenguk. Masih bercanda, masih meminta tolong saya menyalakan smartphonenya untuk menunjukan foto anak bungsunya yang baru disunat.

Esoknya, saat saya di kantor, sekitar jam 3 sore, saya mendapat kabar kalau pakde sudah meninggal. Terasa cepat sekali karena baru kemarin kami berjumpa.

Selepas meninggalnya Pakde, saya mendengarkan ceramah ustadz Khalid Basalamah di youtube yang membahas tentang kitab Tadzkirah Imam Qurthubi.

Di kitab tersebut membahas tentang kematian. Tentang bagaimana menyikapi kematian, apa itu kematian, dan bagaimana mempersiapkan diri menghadapi kematian.

Dari situ saya tahu bahwa dalam alquran terdapat ayat berbunyi

"Dimana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh. [An Nisa’:78]."

Intinya siapapun bisa mati. Mau yang muda atau tua. Sakit atau sehat. Kaya atau miskin. Walau bersembunyi di benteng tinggi yang kokoh, kalau maut datang, tak bisa dihindari.

Hari ini, saya dapat kabar mengejutkan lagi.

Tadi pagi, saya dan keluarga sudah bersiap untuk mengunjungi adik di pondok pesantren. Mumpung libur dan pasti pesantren juga libur karena hari jum'at.

Baru mobil keluar dari pagar. Bapak saya dapat telpon. Karena jaringannya kurang baik, suara di telpon itu tidak jelas dan akhirnya di tutup oleh bapak saya.

Tapi kemudian ada suara tangisan dari telepon. Ternyata telpon itu belum sempurna ditutup.

"Halo?" kata bapak saya.

"Halo." suara merintih dari telepon.

"Kenapa?"

"Me-ning-gal" suara putus-putus dari telepon itu terdengar.

"Siapa yang meninggal?"

Lalu suara di telepon itu menyebutkan nama. Nama suami dari adik bapak saya, Om. Meninggal karena kecelakaan.

Lalu ekspresi bapak saya berubah menjadi muram. Wajahnya tertunduk lesu, begitu pun ibu saya yang mendengar di sampingnya. Sedangkan saya masih diam tak percaya.

"Innalillahi, Ya Allah, kemarin kakak, sekarang adik!" kata bapak saya.

Tentu kabar ini membuat terkejut. Om saya ini tidak sedang sakit apa-apa.

Kemudian tujuan kami ke pondok pesantren beralih ke rumah di daerah munjul. Rumah yang sepuluh hari lalu juga menjadi tempat semayam pakde saya.

Di perjalanan, saya melamun.

Merenung tentang benarnya sabda Rasulullah dan Firman Allah. Bahwa maut adalah dekat. Bisa kapan saja. Tak peduli sakit atau sehat, tua atau muda. Saat waktunya tiba. Sedetik pun tak bisa diundur.

Kemudian saya seperti diberikan pelajaran. Tentang waktu. Tentang amal. Tentang berbuat baik. Tentang bertaubat. Sebelum terlambat.

Apa saya rasa karena masih muda, mati saya masih lama?

Padahal belum tentu, beberapa teman seusia saya juga ada yang mendahului berpulang.

Saya kemudian merenung lagi. Orang yang sepuluh hari lalu menyolati jenazah bersama saya, sepuluh hari lalu masih menulis nama di kayu nisan pakde saya, dan masih pembuka sambutan acara pemakaman, telah menjadi jenazah, diberi kayu nisan dan dimakamkan.

Secepat itu?

Waduh, siapa kita mau protes cepat atau lambatnya Allah memanggil seseorang?

Kemudian saya berdoa. Semoga kami yang masih hidup dapat menjadi pribadi lebih baik. Dan siap dalam menghadapi hal yang pasti dialami setiap yang bernyawa.

Kematian.

29 Mar 2018

Setelah Setahun Tidak Menulis di Blog

Sudah hari kedelepan sejak pertama kali gue menulis lagi di blog ini. Ini bukanlah niat gue secara tulus tapi karena ada pompaan semangat yang disebut tantangan menulis 30 hari atau dalam hal ini namanya #30DWC (30 Days Writing Challenge).

Program ini gue ketahui dari rekan kerja gue. Namanya Pak Hasan. Waktu itu gue dan Pak Hasan sedang bersiap-siap menuju acara gathering perusahaan tempat kami bekerja. Acara itu diselenggarakan di jogja. Sambil menunggu taksi online untuk menuju bandara, gue melihat Pak Hasan sedang mengetik di laptopnya. Tampaknya sedang serius sekali. Dan melihat itu, gue jadi inget blog gue yang….. setahun gak gue tulis apa-apa. Kalau blog gue bisa nyanyi, pasti dia nyanyi lagu bang toyib. Kenapa gak nulis-nulis.

28 Mar 2018

Bukan Kisah Putih Abu #7 : Menuju Hari Terakhir MOS

Ruangan tempat nyanyi bersama itu dipenuhi dengan suara-suara nyanyian dan sorakan para anggota kelog yang hampir semuanya adalah laki-laki. Mereka bersorak sambil berjingkrak di depan barisan prasa-prasi yang sedang duduk. Setelah perseteruan kesenian dan acara tadi, kepanitiaan MOS dianggap bubar, dan diambil alih oleh kelog (keamanan dan logistik).

Wajah pucat terpampang pada setiap prasa-prasi. Gue sedari tadi bernafas gak karuan (baunya). Apalagi setelah gue berhasil keluar ruangan tapi disuruh masuk lagi oleh panitia. Gue bingung harus ngapain. Kalau kata orang, kalau bingung, pegangan. Tapi saat ini gak ada yang bisa gue jadikan pegangan.

27 Mar 2018

Bukan Kisah Putih Abu #6 : Tampar saja, Tampar !!

Dirijen kembali memberi aba-aba untuk memulai nyanyian dari awal.  Kita semua bernyanyi sambil mengingat nadanya masing-masing. 

Di tengah nyanyian, tiba tiba pintu kelas yang tadinya tertutup, langsung terbuka. Udara dingin dari luar ruangan menyembul masuk mengiringi sekelompok orang yang tiba-tiba masuk itu. Dirijen menghentikan gerakan tangannya. Prasa-prasi yang tadi fokus ke dirijen beralih ke arah pintu.

Yang masuk adalah para pengawas. Mereka adalah anggota Persatuan Pelajar yang memiliki jabatan tertinggi pada acara MOS ini. Laki-laki pada kelompok pengawas ini tidak botak seperti prasa dan panitia laki-laki lainnya. Rambut mereka tidak seperti telur asin.

26 Mar 2018

Bukan Kisah Putih Abu #5 : Sebuah Konflik Suara

Selain diberi tugas aneh-aneh dan dibentak-bentak. Pada MOS ini prasa-prasi juga diajari cara bernyanyi. Tepatnya bernyanyi lagu “hymne analis”. Sebuah lagu yang legendaris yang menggambarkan tentang sebuah janji profesi analis kimia terhadap negri ini. Liriknya cukup romantis. Pertama kali denger gue terharu dan hampir menumpahkan air mata. Cuma akhirnya gak gue tumpahin karena males ngelapnya.

Kata salah satu kakak panitia kesenian. Lagu ini adalah lagu yang akan kita nyanyikan waktu pelantikan pertama kali menjadi siswa sekolah kimia. Lagu ini pula yang akan menghantarkan kita menjadi analis kimia jika kita wisuda nanti. Mantap betul. Tapi apa gue bisa sampe wisuda?

Semakin mendekati hari kelima, latihan paduan suara semakin ditambah jamnya. Hal ini dikarenakan hari kelima adalah hari pelantikan siswa baru. Semua prasa-prasi harus sudah dapat bernyanyi dengan baik. Membuat pendengarnya kagum dan merinding mendengar pecah suara yang begitu memukau. Bukan merinding tiba-tiba melihat penampakan diatas panggung (bukan gue ya.)

25 Mar 2018

Bukan Kisah Putih Abu #4 : Masa (sih) Orientasi Siswa? Bagian II

Sudah jadi hal yang wajar di Indonesia ketika Masa Orientasi Siswa akan ada tugas membawa barang. Tugas ini akan disebutkan sebelum pulang pada hari sebelumnya. Dan penyebutan barang itu tidak langsung menyebutkan barangnya, tetapi dibuat teka-teki sehingga peserta MOS diharapkan memecahkan teka-tekinya. Gue jadi bingung, ini mau masuk sekolah apa seleksi jadi detektip.

Pun pada sekolah kimia ini. Sebelum pulang hari kedua, gue dan prasa prasi lainnya diberikan list tugas membawa barang-barang. Kira-kira seperti ini listnya :


Oryza Sativa matang
Barium Sulfat matang anhidrat
Buah berasam sitrat
Susu Kapuk Baik Asli
Teh bersakarida
Selenium, Nitrogen, Dissolve Oksigen, Kalium dan pasangannya.
Gulungan kertas lembut dan suci.

24 Mar 2018

Bukan Kisah Putih Abu #3 : Masa (sih) Orientasi Siswa? Bagian I

Perkenalan di kelas sudah selesai. Semua penghuni kelas sudah memperkenalkan dirinya masing-masing. Ternyata bukan hanya dari daerah sekitar Bogor saja yang sekolah disini. Ada juga yang dari daerah, bahkan luar pulau jawa.

Setelah itu, Kak Ridwan yang ada di depan mulai beralih ke pertanyaan lain. Gue tahu mungkin tujuan dia masuk ke kelas hanyalah untuk mengisi waktu kosong saja hari ini. Sebelum pelajaran dimulai, mungkin besok.

“Kemarin gimana MOS nya? Seru?” Tanya Kak Ridwan.

Jawaban seisi kelas macam-macam.

“Seru kak.” Kata seorang teman kelas.

“Menegangkan.” Kata teman kelas yang lain.

“Gak seru. Gak ada dangdutnya.” Kata teman kelas lain yang mungkin dangdut holic.

23 Mar 2018

Bukan Kisah Putih Abu #2 : Agar Kamu Bahagia


Di ruang tengah rumah gue terdengar suara obrolan yang gue kenali suara itu adalah suara orang tua gue. Bapak dan Ibu gue sedang disana mengobrol santai seperti layaknya pasangan suami istri di hari minggu pagi. Gue rasa ini kesempatan gue untuk obrolin tentang sekolah lanjutan gue setelah SMP. Gue pun menuju ruang tengah sambil membawa selembar kertas.


 "Bu, Pak. Jadinya Ilham lanjut ke sekolah mana ya?" Tanya gue membuka obrolan sambil menuju kursi untuk duduk.


"Ya, kamu maunya dimana?" Kata Bapak gue.


Dan inilah saatnya gue mengeluarkan selembar kertas yang gue bawa tadi. Diatas lembar kertas ini sudah ada gambar ilustrasi karakter bergaya Jepang (Manga) yang gue buat tadi malam.


"Ini Pak, Bu, bagus gak gambaran Ilham?" Kata gue sambil menyodorkan kertas itu ke mereka.


"Wah, bagus." Kata Ibu gue singkat


"Mantap sekali ini, kamu benar-benar nurun Bapak. Bapak dulu juga jago gambar" Kata Bapak gue dengan ekspresi bangga.


"Apanya, gambar cicak aja jadi kayak kucing.." Ibu gue menimpali


"Ah Ibu, kalau ngomong. Suka Pas." Kata Bapak gue pasrah.


Ebuset, gambar cicak jadi kucing gimana ceritanya? itu cicak operasi spesies?

22 Mar 2018

Bukan Kisah Putih Abu #1 : Hari Pertama Masuk Sekolah

Pagi ini mata gue dipenuhi oleh bentuk bulat, karena sejauh mata memandang banyak sekali orang dengan kepala botak. Gue sadar gue bukan sedang ada di perguruan kungfu. Karena sampai saat ini gue gak ngeliat ada Jackie Chan. Gue juga sadar gue bukan lagi di kampung tuyul. Karena gue gak ngeliat ada Mbak Yul. (apa sih)

Bukan hanya sekeliling gue yang dipenuhi orang botak. Tapi pas gue ngaca, gue juga ngeliat orang botak. Ya, gue juga botak. Tapi apakah gue adalah calon avatar penerus Aang? bukan tentunya, karena gue gak bisa mengendalikan empat elemen, dan juga gak minum susu elemen.

2 Mar 2018

Acara Khilaf-able : JTCF 2018

Gue masih memandang lamat-lamat uang di dalam dompet gue. Isinya tinggal dua lembar lima puluh ribu. Kalau gue ambil ini uang, maka habislah sudah. Dompet ini hanya tinggal berisi udara, yang jika didiamkan mungkin bakalan ada gelandangan yang tinggal.

"Jadi beli mas?"

Pertanyaan mas - mas penjual mainan kembali menggoda. Dasar, pria penggoda sesama pria.

"I..ya udah mas, bungkus aja."

"Oke totalnya jadi delapan belas juta lima ratus ribu rupiah, Mas."

Jantung gue langsung dag dig dug. Mata gue melotot, alis gue naik. Keringat bercucuran dari pori pori gue bagai shower yang mengucur. Nafas gue terengah-engah seperti orang yang habis lari tiga kilo. Kilogram. Mulut gue megap megap kayak ikan mas koki yang gak jago masak (koki kan harusnya jago masak).

Penikmat Crispy

Pemakan Crispy