30 Mar 2018

Tentang Kematian

Innalillahi wa inna'ilaihi rajiun.

Sungguh pengingat terbaik adalah kematian.

Dalam sepuluh hari ini Allah mengingatkan saya untuk bertaubat melalui kematian keluarga terdekat saya.

Sepuluh hari yang lalu, kakak dari bapak saya, Pakde. Meninggal karena sakit.

Sehari sebelum meninggal beliau masih bisa dijenguk. Masih bercanda, masih meminta tolong saya menyalakan smartphonenya untuk menunjukan foto anak bungsunya yang baru disunat.

Esoknya, saat saya di kantor, sekitar jam 3 sore, saya mendapat kabar kalau pakde sudah meninggal. Terasa cepat sekali karena baru kemarin kami berjumpa.

Selepas meninggalnya Pakde, saya mendengarkan ceramah ustadz Khalid Basalamah di youtube yang membahas tentang kitab Tadzkirah Imam Qurthubi.

Di kitab tersebut membahas tentang kematian. Tentang bagaimana menyikapi kematian, apa itu kematian, dan bagaimana mempersiapkan diri menghadapi kematian.

Dari situ saya tahu bahwa dalam alquran terdapat ayat berbunyi

"Dimana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh. [An Nisa’:78]."

Intinya siapapun bisa mati. Mau yang muda atau tua. Sakit atau sehat. Kaya atau miskin. Walau bersembunyi di benteng tinggi yang kokoh, kalau maut datang, tak bisa dihindari.

Hari ini, saya dapat kabar mengejutkan lagi.

Tadi pagi, saya dan keluarga sudah bersiap untuk mengunjungi adik di pondok pesantren. Mumpung libur dan pasti pesantren juga libur karena hari jum'at.

Baru mobil keluar dari pagar. Bapak saya dapat telpon. Karena jaringannya kurang baik, suara di telpon itu tidak jelas dan akhirnya di tutup oleh bapak saya.

Tapi kemudian ada suara tangisan dari telepon. Ternyata telpon itu belum sempurna ditutup.

"Halo?" kata bapak saya.

"Halo." suara merintih dari telepon.

"Kenapa?"

"Me-ning-gal" suara putus-putus dari telepon itu terdengar.

"Siapa yang meninggal?"

Lalu suara di telepon itu menyebutkan nama. Nama suami dari adik bapak saya, Om. Meninggal karena kecelakaan.

Lalu ekspresi bapak saya berubah menjadi muram. Wajahnya tertunduk lesu, begitu pun ibu saya yang mendengar di sampingnya. Sedangkan saya masih diam tak percaya.

"Innalillahi, Ya Allah, kemarin kakak, sekarang adik!" kata bapak saya.

Tentu kabar ini membuat terkejut. Om saya ini tidak sedang sakit apa-apa.

Kemudian tujuan kami ke pondok pesantren beralih ke rumah di daerah munjul. Rumah yang sepuluh hari lalu juga menjadi tempat semayam pakde saya.

Di perjalanan, saya melamun.

Merenung tentang benarnya sabda Rasulullah dan Firman Allah. Bahwa maut adalah dekat. Bisa kapan saja. Tak peduli sakit atau sehat, tua atau muda. Saat waktunya tiba. Sedetik pun tak bisa diundur.

Kemudian saya seperti diberikan pelajaran. Tentang waktu. Tentang amal. Tentang berbuat baik. Tentang bertaubat. Sebelum terlambat.

Apa saya rasa karena masih muda, mati saya masih lama?

Padahal belum tentu, beberapa teman seusia saya juga ada yang mendahului berpulang.

Saya kemudian merenung lagi. Orang yang sepuluh hari lalu menyolati jenazah bersama saya, sepuluh hari lalu masih menulis nama di kayu nisan pakde saya, dan masih pembuka sambutan acara pemakaman, telah menjadi jenazah, diberi kayu nisan dan dimakamkan.

Secepat itu?

Waduh, siapa kita mau protes cepat atau lambatnya Allah memanggil seseorang?

Kemudian saya berdoa. Semoga kami yang masih hidup dapat menjadi pribadi lebih baik. Dan siap dalam menghadapi hal yang pasti dialami setiap yang bernyawa.

Kematian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Garing kan? Yuk, kata - katain si penjual krispi biar dia males nulis garing lagi. Silahkan isi di kolom komentar.

Penikmat Crispy

Pemakan Crispy

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...