Perjalanan ke
sekolah sama seperti biasa. Bedanya,hari ini ada ribuan rintik hujan yang ikut
serta. Bogor memang kota hujan. Biasanya hujannya di sore hari. Tetapi hari ini
berbeda,hujan seperti tidak sabar untuk membasahi bumi yang kering. Hujan seperti
tidak tega melihat bumi yang kehausan,walau sesaat. Indahnya sebuah sinergi
dalam hidup.
Kehidupan sekolah
gue lancar-lancar saja. Tapi akhir-akhir ini ada yang mengusik hati gue. Gue
cek ke dokter,gue bukan kena hepatitis. Sepertinya gue terkena virus merah
jambu. Virus yang seperti tamu yang tidak diundang,tapi menghiasi seisi rumah.
Virus yang bisa membuat orang melayang tinggi,atau bisa juga membuat orang
terbunuh karena sakitnya. Virus merah jambu atau yang dikenal umum sebagai
cinta. Mungkin tidak ada dokter yang bisa menyembuhkannya kecuali yang menebar
virus itu. Ya,yang menebar virus itu. Tapi gue masih membiarkan rasa itu tumbuh
di dalam hati. Sendiri,tidak disiram. Menunggu rasa itu terbalas,atau
benar-benar terkubur di dalamnya.
Hujan masih turun dengan iramanya yang tetap.
Gue tiba di sekolah dengan menggunakan mobil angkutan Bogor yang khas berwarna
Hijau. Kota Bogor memang berciri khas dengan angkutan umumnya yang berwarna
Hijau. Nuansa hijau sangat melekat dengan Bogor. Walau begitu,saat tidak hujan
dan terik. Bogor masih dapat digolongkan sebagai kota yang panas. Pernah gue mendengar
potongan lirik lagu pengamen yaitu “Bogor kini sepanas kompor”. Entah kenapa Gue
langsung berpikiran Bogor itu sejenis kompor minyak atau kompor gas.
Setelah turun
dari angkutan,gue langsung lari ke kelas. Gue gak mau mengulur waktu lagi.
Terlebih karena gue tahu di jam pertama ada pelajaran guru yang cukup terkenal
sadis. Untungnya dia tidak suka memotong-motong tubuh manusia. Dia lebih suka
memotong nilai siswanya yang telat atau yang menentang. Guru itu bernama Bu
Dedeh. Perawakan sedang namun dengan ilmu bahasa Indonesia yang tinggi. Dia
sudah meraih gelar magister di bidang Bahasa. Tidak heran dia sering memarahi
muridnya dengan puisi.
Sesampainya di
depan ruang kelas,gue menarik nafas dalam-dalam. Gue mencoba membuka pintu
perlahan. Bayangan gue Bu Dedeh sudah ada di depan kelas sedang bercerita
dongeng klasik yang selalu dia ceritakan. Tapi bayangan gue salah, setelah
membuka pintu yang gue lihat hanyalah temen-temen sekelas gue yang sedang asyik
dengan kesibukannya masing-masing. Ada yang belajar,ada yang bercanda,atau ada
yang melanjutkan tidurnya yang kurang di kosan. Gue lega. Dan langsung
menghampiri tempat duduk gue. Disana sudah ada temen sebangku gue,Tomi.
“Wih,untung Bu
Dedehnya gak masuk..” sambut Tomi
“Iya,untung
banget gue tom, oh iya kenapa gak masuk?”
“Dia cuti hamil.”
“Ha? Dia masih
bisa hamil? Gue kira udah menopause.”
Gue dan Tomi tertawa.
Gue dan Tomi sudah sebangku sejak pertama
kali kita sekelas. Gue emang tipe orang yang setia. Tidak seperti beberapa
temen gue yang lain. Ada yang sudah beberapa kali berganti teman duduk. Mereka
mungkin sedang mencari kecocokan. Mencari kesamaan antara satu dengan yang
lain. Gue dan Tomi sudah memiliki kesamaan,sama-sama suka Sepak Bola. Gue
ngerasa nyambung kalau sudah ngomongin soal bola dengannya. Tapi gue juga
merasakan memiliki kesamaan dengan seseorang yang lain. Berbeda dengan Tomi,dia
perempuan. Dialah yang menyebabkan gue terserang virus merah jambu. Dia yang
bisa menyembuhkan. Dia dokternya.
Gadis itu bernama
Mervi. Nama yang keren untuk gadis yang mengalihkan pandangan gue. Atau lebih
tepatnya menangkap pandangan gue. Dia selalu menjadi pusat perhatian gue di
kelas atau dimana saja saat gue melihat dia. Pelajaran Bu Dedeh pun jadi
terkesan menarik,cuma karena dia duduk di depan gue waktu itu.
Mungkin virus ini
gak akan menyerang gue kalau gak ada sebab sebelumnya. Sebabnya yaitu gue punya
kesukaan yang sama dengan Mervi. Kita sama-sama suka gambar. Bedanya, Mervi
lebih suka gambar beraliran realisme. Lebih menyerupai aslinya. Kalau gue lebih
ke animasi atau lebih terkesan cemen memang.
Berawal dari ketidaksengajaan gue mengintip ke
loker bawah mejanya di Laboratorium Praktikum. Untungnya waktu itu mata gue gak
jadi bintitan. Gue melihat secarik kertas yang diatasnya terukir goresan pensil
yang sangat indah. Terpampang dua gambar wajah manusia,yang satu laki-laki,yang
satu perempuan. Keduanya menyerupai wajah asli. Perpaduan antara goresan pensil
dan teknik gelap teranglah yang mendukung keindahannya. Saat sedang terpana
melihat gambar itu. Gue ditegur dari belakang.
“Aduh jelek ya
gambar gue?” Tegur Mervi dari belakang.
“Eh.. Engga kok.
Ini bagus banget. Gue pengen banget bisa gambar yang kayak gini.”
“Emm masa,liat
aja tuh masa idungnya bengkok.”
“Keren kali
idungnya bengkok kan jadi beda sama yang lain.. haha” gue bercanda
“Haha bisa aja
lu. Nama lu kalo gak salah Dani kan?”
“Denny. Nama gue
Denny Garlileo. Nama belakang gue agak aneh ya.. hehe”
“Oh iya Denny.
Engga keren kok nama belakang lu Garlic apa tadi?”
“Garlileo. Itu
gabungan nama bapak dan ibu gue sih hehe”
“Oh gitu..”
Percakapan pertama gue dengan Mervi berakhir dengan kata “Oh
gitu” nya Mervi yang mengakhiri percakapan. Karena setelah bilang “oh gitu” dia
pergi mengambil alat gelas laboratorium yang mau dia gunakan. Tapi hal itu
cukup bagi gue. Cukup puas bagi gue,dia
tahu nama gue. Dan nyebutin nama belakang gue dengan hampir benar.
Nama belakang gue
“Garlileo”. Padahal gue gak ada keturunan orang luar negeri sama sekali. Itu merupakan
gabungan dari nama ayah dan ibu gue. Ayah gue bernama Tegar. Dan Ibu gue
bernama Laela. Entah kenapa mereka dengan kreatifnya menggabungkan nama mereka
menjadi “Garlileo”. Gue baru kepikiran,mungkin apabila digabung menjadi Tele
akan terkesan gue sejenis kotoran ayam. Ternyata ibu dan ayah gue terinspirasi
dari penemu teleskop. Galilleo Galilllei. Mungkin mereka ingin gue bisa melihat
hal yang jauh dan berada diatas.
Hari itu
merupakan pertama kalinya gue tertarik dengan Mervi. Virus itu seperti masuk
dari mata. Mengalir ke hati. Lalu membuat seluruh sel gue bermutasi. Cinta
memang terkadang membuat diri ini sedikit berubah,atau terkadang berubah total.
Gue yang gak biasanya pakai minyak wangi sekarang pakai. Biasanya gak pakai gel
rambut sekarang gue pakai. Bahkan sekarang gue pakai hand body seluruh tubuh. Biar badan gue wangi. Agak seperti bencong
memang,tapi perubahan itu terjadi sendiri. Bagai gerak refleks. Mungkin karena
kita ingin terlihat enak saat bertemu seseorang yang kita suka.
Sampai hari ini,gue masih memiliki rasa itu.
Masih utuh dan tersimpan rapi di sudut hati. Tapi begitu juga Mervi. Dia masih
belum sadar gue punya rasa yang berbeda untuknya. Dia masih asyik bercanda dan
bermain dengan temen-temennya di sudut lain kelas. Tapi ini hal yang wajar.
Mervi bukanlah paranormal yang bisa baca pikiran gue. Dia gak akan tahu kecuali
gue yang katakan sendiri. Tapi bagai orang yang kalah sebelum berperang.
Prasangka itu selalu muncul.
Hari ini saat jam
kosong. Tidak ada yang gue lakukan selain memerhatikan Mervi . Dari kejauhan
tentunya.Gue berniat untuk mengajak dia pergi ke suatu tempat. Gue pengen lebih
dekat dengan dia. Tapi gue gak tahu apa yang harus gue katakan untuk membuat
jarak gue dan dia tidak lebih dari sejengkal. Gue memutar otak,dan akhirnya
terpikir untuk mengajak dia ke toko buku terdekat di Bogor. Terakhir kali gue
kesana,gue ngeliat ada buku “cara menggambar dengan pensil”. Yang kebanyakan
isinya tentang menggambar aliran realisme. Dan di sampingnya terdapat buku
“cara menggambar manga”. Gue pikir itu tempat yang pas buat gue dan dia.
Keinginan gue
untuk mengajak dia ke toko buku akhirnya gue laksanakan. Gue hampiri dia yang
berada di tengah teman-temannya. Gue gugup,tapi gue sudah bergerak. Sebelum
kesana,gue udah minta do’a ke Tomi. Dia mendukung gue dari kejauhan.
“Emm,mer,boleh
ngomong bentar gak?”
Satu kalimat gue yang terlontar. Mungkin terlalu
keras,sehingga seluruh siswa di kelas mendengarnya. Sekelas langsung teriak
“CIYEEE..!!”. Karena panik gue mengajak dia keluar kelas.
“Mau ngapain
den?” tanya Mervi agak canggung karena “ciye” siswa sekelas.
“Emm itu... lu
tau toko buku di jalan pajajaran itu kan?”
“Oh iya gue tau.
Gue sering kesana buat beli sketchbook.
Kenapa?”
“mau kesana gak
hari Sabtu nanti? Ada buku yang mau gue tunjuki sama lu”
“ Ooh,boleh.”
Jawaban singkat Mervi membuat gue lega. Perasaan gue waktu
itu mungkin seperti orang yang pup setelah dua tahun gak pup. Leganya maksimal.
Setelah berbicara “boleh” Mervi langsung masuk ke kelas. Gue juga. Dan semua
kembali teriak “CIYEE..!!”. Tapi gue bersikap sok cool. Padahal jantung gue
udah mau pindah ke kepala. Mervi kembali menghampiri teman-teman perempuannya
di sudut kelas. Dia kembali di “Ciye” in disana. Terlihat oleh gue Mervi
berbisik dengan salah satu teman perempuannya,Nuri. Gue mulai berasumsi,apa
kira-kira yang dibisikkan oleh Mervi ke Nuri. Beberapa prasangka buruk mulai
menyelimuti gue. Seperti gue kepikiran kalau dia bilang ke Nuri “Eh lo tau gak?
Si botak ngajak gue jalan” atau yang paling parah “Eh masa gue diajak Denny ke
toko buku. Gue takut diculik nih..”
Semua prasangka
itu gue tangkis. Gue gak mau pertemuan gue dengan Mervi Sabtu nanti jadi
diselimuti prasangka yang belum tentu benar adanya. Gue kembali ke tempat duduk
gue.
“Gimana sob,berhasil
gak?” Tomi bertanya
“Dia mau tom,tapi
gue gak tahu kalau dia maunya itu tulus atau engga. “
“Maksudnya?”
“Ya,tadi habis
dia ngobrol sama gue. Dia bisikin si Nuri.”
“Prasangka baik
aja dulu. Siapa tahu dia bisikin kalau dia nervous
gitu buat hari Sabtu”
“Oh gitu ya tom.
Iya semoga deh.”
Perkataan Tomi sedikit menenangkan gue. Walau gue tahu dia
mungkin habis ini akan solat tobat dan banyak istigfar,karena telah berbohong.
Seperti menunggu
hal yang sangat hebat. Gue sampai merasa waktu saat itu bergulir lebih lama.
Gue mengajak Mervi ada hari Rabu. Hari Sabtu hanya tiga hari setelah itu.
Biasanya terasa cepat,namun kali ini seperti ada yang menghentikan waktu. Yang
gue mengerti itu semacam teori relativitas waktu. Kita akan merasa waktu lebih
lama saat menunggu. Tapi akan serasa cepat apabila sedang melakukan hal yang
disukai. Kalau gue sering merasa cepat kalau lagi makan ketoprak. Bukan karena
suka,tapi karena emang laper.
Sabar membuahkan
hasil. Penantian gue terhadap hari Sabtu akhirnya tiba. Hari itu tiba. Gue
bersiap untuk pergi ke toko buku di jalan pajajaran itu. Ada yang sedikit
berbeda dari persiapan gue. Biasanya gue pakai minyak wangi tiga semprot,hari
ini dua. Dua botol. Biasanya gue pakai satu sachet minyak rambut,sekarang cuma
setengah. Setengah kotak. Dan hand body yang
gue pakai sekarang lebih menyeluruh.
Gue pergi ke toko
buku naik motor. Berharap kalau dia ingin kemana-mana bisa gue antar. Gue saat
itu lagi berpikiran cerdas. Sesampainya disana,gue masuk ke toko buku dengan
begitu hati-hati. Karena gak mau kencan ini berakhir dengan gue kepleset dan
pala gue bocor kebentur lantai. Gue melihat kanan-kiri mencari Mervi. Gue
mencari ke bawah dan ke atas. Dia juga tidak ada. Sampai di sudut tempat rak
buku Komik. Gue melihatnya. Saat itu dipikiran gue cuma “ah,gue udah membiarkan
dia menunggu.”. Penampilan dia sangat menarik. Dia memakai rok hitam selutut
dan baju warna merah maroon. Paduan warna gelap sangat cocok untuk kulitnya
yang putih. Berbeda dengan gue yang kalau pakai baju gelap mungkin yang
terlihat dari gue hanya gigi ketika gue tersenyum. Tampak dia sedang asyik
membaca sebuah komik. Satu hal lagi kesamaan gue dan dia. Kita sama-sama suka
komik.
Gue menghampiri
Mervi. Gue berdiri tepat di sampingnya. Tapi dia tetap tidak menyadari bahwa
disitu ada gue. Mungkin dia keasyikan membaca komik.
“Mer,udah lama
nunggu?” gue memulai
“Eh belum kok.
Baru nyampe gue. Lu dari tadi di samping gue?”
“Engga. baru aja
sampe di samping lu hehe”
“Oh gitu”
Setelah melontarkan kata “oh gitu” yang singkat,dia
melanjutkan membaca komik. Gue jadi bingung harus berbuat apa. Tampaknya gue
harus memulai percakapan kembali.
“Emm mer.. gue
mau nunjukin buku yang mungkin menarik buat lu..”
“Oh iya,mana?”
“Ayo ikut gue..”
Gue membawa Mervi ke rak buku seni. Di sana terdapat buku
yang akan gue tunjukin ke Mervi. Yaitu buku “cara menggambar dengan pensil”. Sampai
di rak buku tersebut,gue langsung menunjukan buku itu ke Mervi.
“Nih,buku “cara
menggambar dengan pensil” pasti lu suka..”
“Waaah,iya gue
lagi nyari-nyari buku ini den.. Makasih ya..”
“Iya sama-sama..
“
Percakapan kembali terhenti. Mervi sekarang asyik membaca
buku yang gue tunjukin tadi. Gue jadi bingung. Jarak gue dengan Mervi sekarang
memang dekat. Hanya kurang dari sedepa. Tapi gue merasa dia masih jauh. Gue
masih belum merasakan kedekatan dengan Mervi. Gue belum banyak bicara dengan
dia. Hanya beberapa percakapan singkat yang selalu berakhir dengan kata yang
pendek.
Karena Mervi
asyik membaca buku yang gue tunjukin. Gue akhirnya juga membaca buku yang gue
suka. Tentang cara menggambar manga. Gue jenuh diam disaat Mervi asyik membaca.
Tapi beberapa saat gue membaca buku,dia membuka pembicaraan.
“Jadi lu udah berapa lama suka ngegambar
kartun ?”
“Dari gue
SD,kebetulan gue suka nonton kartun dulu. Jadi terinspirasi. Kalo lu gambar
cakep gitu dari kapan?
“Ah biasa aja
kok, gue mulai suka waktu SMP. Waktu itu ada cowok di kelas gue yang membuat
gue karena dia bisa gambar baaguuus banget.
Gue jadi terinspirasi. Akhirnya gue mencoba ngikutin dia ngegambar gitu.
Gue udah sering gambar bareng dia. Biasanya sih,pemandangan kota. Sayangnya,dia
gak masuk SMA yang sama kayak gue. Dia masih di Kebayoran,Jakarta Selatan. “
“Oh gitu ya..”
Kali ini gue yang mengeluarkan kata pendek pengakhir
percakapan. Gue rasa cukup perkataan curahan hati Mervi yang tampaknya membuat
sedikit hati gue robek. Tapi Mervi tiba-tiba mencoba meneruskan percakapan.
“Oh iya,gue udah
liat gambaran lu kemarin..”
“Gambaran gue?
Liat dimana?”
“Di kasih liat
Tomi. Bagus deh,kartun yang lu gambar lucu gitu. Hehe”
“Oh si Tomi gak
bilang-bilang. Iya,makasih hehe”
Perkataan Mervi mungkin tidak menjahit semua luka hati gue.
Tapi paling engga,hati gue sudah tidak merasakan sakitnya. Seperti anestesi.
Namun lebih cepat reaksinya.
Hari itu
percakapan gue dengan Mervi berlanjut. Lumayan lama. Gue dan Mervi berbincang
tentang gambaran yang bagus. Juga membicarakan salah satu tokoh komik dan alur
ceritanya yang seru. Gue ngerasa nyambung dengan Mervi. Mungkin dia juga merasa
begitu. Tapi ada satu yang mengganggu percakapan gue dengan dia. Dia terus
mengetik SMS saat berbicara dengan gue. Seperti ada yang sedang SMSan
dengannya. Satu hal yang gue lupa. Gue belum tahu Mervi sudah punya pacar atau
belum.
Setelah asyik
berbincang dengan Mervi. Gue pulang ke rumah. Niat gue untuk mengantar Mervi
pulang pupus karena ayahnya Mervi menjemput. Hari itu berakhir. Tapi gue ingat
tiap detik percakapan gue dengan Mervi di toko buku. Gue ingat saat Mervi lagi
mengusap kepalanya saat tiap kali gue puji tentang gambarnya. Gue ingat saat
dia menunjukan tokoh komik yang sangat dia suka. Bahkan gue ingat saat dia
bersin dan gue ingat bunyi bersinnya. Kejadian itu
terekam secara detail. Bagai tidak ada yang terlewat.
Gue kembali ke
sekolah di hari Senin. Hari itu hujan lagi,jadi sepertinya tidak ada upacara
bendera. Kebetulan jam pertama hari itu Bahasa Indonesia. Berati jam pertama
akan kosong,dan hanya akan diberi tugas karena Bu Dedeh sedang cuti hamil.
Gue menuju kelas.
Seperti biasa kelas sudah ramai dan masing-masing siswa berkumpul dengan temen
sepermainannya. Gue juga lihat Mervi kembali berkumpul dengan teman-temannya di
sudut kelas. Mereka bermain kartu UNO. Gue hanya kembali duduk di tempat duduk
gue. Disana sudah ada teman sebangku gue,Tomi.
“Gimana sob Sabtu
kemarin?”
“Lancar. Gue
banyak ngobrol sama dia. “
“Sebenernya gue
tau info terbaru sob soal Mervi. Tapi gue takut lu jadi shock dan depresi”
Perkataan Tomi membuat gue terdiam sejenak. Gue menghelas
nafas dalam-dalam.
“Yaudah
tom,bilang aja. Ada apa dengan si Mervi?”
“Gue kemarin gak
sengaja ngeliat pemberitahuan di beranda facebook gue. Gue liat Mervi jadian
sama seseorang.”
“Laki-laki?”
“Iyalah
laki-laki. Lu kira si Mervi Lesbian. “
“Namanya siapa?”
“Namanya Adriano
siapa gitu..”
Hati gue yang
belum sempurna sembuh bagai ditikam lagi. Tapi kalau gue belum tahu dan semakin
dekat dengannya. Mungkin akan lebih sakit lagi. Gue berterima kasih kepada Tomi
yang udah ngasih tahu gue info yang penting. Hari itu suram. Gue merasa pengen
cepet-cepet balik ke rumah. Pengen showeran dan galau sambil keramas.
Setelah pulang
sekolah,gue bertemu Mervi di depan pintu gerbang sekolah. Dia gak menyapa gue.
Gue juga pura-pura gak ngeliat. Karena udah ngerasa diboongin sama Mervi. Gue
langsung menuju angkot hijau yang biasa gue naikin. Begitu juga Mervi menaiki
angkot yang biasa dia naiki. Bedanya,dia tidak sedang galau seperti gue.
Pulangnya,gue
galau berat. Mungkin kalau ditimbang galau gue sudah mencapai batas kemampuan
timbangan untuk menimbang. Overload. Gue
mencoba gak mau mikirin Mervi lagi. Tapi bayang-bayang dia seperti ada terus di
kepala gue. Dia seperti mencoret-coret pikiran gue,tapi gak ngasih
penghapusnya. Tapi malam itu,tiba-tiba handphone
gue berbunyi. Gue liat,itu SMS dari Mervi. Gue jarang SMSan sama dia.
Paling cuma waktu nanya PR,itu juga hanya percakapan pendek yang diakhiri
dengan kata “oh gitu” yang dilontarkan Mervi. Perlahan gue menghampiri handphone gue. Gue mencoba membaca SMS
nya.
”Halo semua,maaf
ya kalau gue ada salah sama lu semua. Mulai besok gue udah pindah sekolah. Gue
gak kuat di sekolah yang expert ini.
Gue milih masuk SMA biasa aja. Byee.. Sampai bertemu lagi yaa.. jangan
kangen..”
Gue tertegun sejenak. Tenggorokan gue seperti di jepit
dengan sangat kuat. Gue gak bisa berkata sedikitpun. Gue bingung apa yang
sedang terjadi. Perasaan gue,Mervi baik-baik aja di sekolah. Kenapa dia harus
pindah? Sekolah Menengah Kejuruan Kimia Bogor memang terkenal dengan
pelajarannya yang rumit. Karena disini banyak pelajaran kimia yang mungkin akan
membuat pusing. Gue juga merasa pusing. Tapi gak sampai minum paramex tiga
kardus.
Setelah terdiam
beberapa menit. Gue berniat membalas SMS dari Mervi.
“Mer,lu pindah?
Kok gitu?”
Agak lama. Sekitar setengah jam,Mervi baru membalas SMS gue.
“Iya den,maafin
gue ya kalau ada salah. Gue gak kuat sekolah disitu den.
“Ya tapi kan
tanggung,bentar lagi ujian semester. Lu bisa kok Mer..”
“Ya
makanya,mumpung masih setahun dan baru mau ujian semester satu,gue pindah aja.
Gak kuat den. Hehe oh iya,terusin hobi gambar lu ya.. keren..”
Mendengar alasannya
yang seperti udah bulat. Gue akhirnya menyerah untuk membujuk Mervi tetap
tinggal.
“Yaudah deh kalo
gitu. Sukses ya di sana. Iya gue bakal nerusin hobi gue kok.”
“Makasih,sukses juga ya ^^”
Percakapan malam itu
berakhir. Gue masih bingung antara sedih atau senang. Gue sedih karena orang
yang gue suka harus pergi. Jarak gue dengan dia menjadi semakin jauh karena gue
denger dia sekolah SMA di Kebayoran. Kebayoran dan Bogor cukup jauh. Atau gue
harus seneng,karena orang yang membuat hati gue luka parah harus pergi. Dengan
begitu gue gak akan ngeliat dia lagi. Malam itu,seperti sudah jatuh tertimpa
tangga. Selain galau,gue juga bingung. Otak gue jadi pusing kuadrat.
Hari-hari gue setelah kepergian Mervi
sangat suram. Hujan yang gerimis terasa badai bagi gue. Angin yang berhembus
perlahan bagai topan. Rasa pedas tahu gejrot cabe tiga serasa pakai cabe
sepuluh. Semua seakan berlebihan. Tomi beberapa kali menenangkan gue. Tapi gue
masih belum bisa tenang. Kegalauan menyelimuti gue. Bukannya
menghangatkan,diselimuti galau menyebabkan gue tidak bisa berpikir jernih. Di
Laboratorium gue beberapa kali memecahkan alat gelas. Bukan karena hobi,tapi
karena gue gak konsen dengan kerjaan gue di lab.
Kegalauan gue sampai di akhir bulan di
bulan terakhir. Saat itu ujian semester sudah lewat. Ujian gue lewati dengan
pusing karena pelajaran yang sulit,dan galau karena Mervi. Untungnya gue hanya
kena remed di beberapa pelajaran. Tidak semuanya. Oleh karena itu,hari ini gue
harus mengikuti remedial pelajaran yang nilainya kurang.
Setelah mengikuti remedial. Gue menuju
papan pengumuman untuk melihat beberapa hasil nilai remedial gue. Syukurlah gue
gak kena remed ulang karena nilai gue sudah cukup. Di samping kertas pengumuman
remedial gue melihat poster tentang “Perayaan Tahun Baru Kota Bogor”. Gue
tertarik. Karena beberapa temen deket gue seperti Tomi dan yang lainnya ingin
juga pergi kesana. Perayaan tahun baru itu akan digelar di kebun raya Bogor.
Pastinya asyik dan menjadi pengalaman pertama gue di kebun raya malam-malam.
Setelah membaca poster itu,gue membalik
badan gue. Tapi tiba-tiba ada perempuan di belakang gue. Gue hampir menabraknya.
Ternyata temen sekelas gue. Namanya Tari.
“Ehh.. maaf “
“Iya gapapa..”
“Eh Tari.. Mau ngapain tar? Ah Tari mah
pasti gak kena remed lah hehe”
“Ah iya sih alhamdulillah.. tapi Tari mau
lihat poster ini. Katanya ada perayaan tahun baru di Kebun raya ya den?”
“Oh iya.. Tari mau kesana?”
“Mau.. tapi gak ada barengan.. hehe”
Ada terlintas pikiran untuk
mengajak Tari ke Perayaan Tahun Baru. Karena kasihan dia gak ada barengan.
“Tari mau ikut bareng Denny dan
Temen-temen gak?”
“Emm gimana ya,nanti Tari SMS deh kalau
jadi bareng. Hehe”
“Oke..”
Perayaan tahun baru akan
digelar besok. Jadi malam ini gue menunggu SMS dari Tari. SMS itu pun datang.
“Den,Tari jadi ikut. Janjian di depan
museum zoologi yaah jam sepuluh”
“Oke.”
Gue menuju museum Zoologi.
Karena gue gak mau membuat Tari menunggu. Gue sama Tari cukup dibilang dekat.
Karena meja gue dan dia di laboratorium bersebelahan. Jadi udah sekitar lima
bulan ini gue dan dia selalu praktek bersama. Gue pernah berpikiran tentang
cinlok atau cinta lokasi. Tapi gue mungkin hanya terbawa suasana. Tapi gue suka
cilok. Rasanya enak. Oke gak nyambung.
Gue sampai di zoologi pukul sepuluh kurang
lima menit. Gue melihat Tari dari kejauhan. Baju yang dia pakai mengingatkan
gue dengan Mervi saat di toko buku tiga bulan yang lalu. Rok hitam selutut dan
baju warna merah maroon. Tari juga memiliki kulit yang putih,jadi cocok. Gue
menyapanya. Dan masuk ke kebun raya. Disana sudah ramai. Banyak yang mengajak
keluarganya karena tahun ini pertama kalinya perayaan tahun baru digelar di
kebun raya.
“yang lain mana den?” Tari bertanya
“Oh mungkin pada masih dijalan tar..”
“Oh gitu..”
Gue lupa SMS Tomi dan temen
yang lain. Tapi saat mau SMS,ternyata sudah ada tiga SMS dari Tomi. Bertuliskan
bahwa dia dan temen yang lain tidak jadi datang. Karena keluarganya mengajak ke
tempat lain.
Gue pun menceritakan dan menunjukan SMS
Tomi ke Tari. Dia akhirnya mengerti. Kesimpulannya malam ini cuma gue berdua
sama Tari. Gue takut cinta lokasi itu tumbuh. Gue masih belum siap untuk cinta
yang baru.
Tapi berbagai percakapan terjadi. Gue
beberapa kali melontarkan candaan. Tari ternyata tipe orang yang mudah tertawa
dengan candaan gue. Padahal biasanya orang yang mendengar candaan gue,akan
berkata kalau gue garing dan gak lucu.
Malam sudah mulai hampir jam 12. Gue dan
Tari mendekat ke tempat lapang yang akan menjadi tempat menyalakan kembang api.
Saat jam berdentang,kembang api itu dinyalakan. Semua orang senang dan
bersorak. Ada yang meniup terompet. Ada yang bersorak-sorak “Happy New Year !!”
. Dan seperti kembang api itu. Sepertinya ada cinta yang tersulut. Cinta lokasi
ini benar-benar mulai menyala.
Setelah perayaan tahun baru itu gue mulai
intensif SMSan dengan Tari. Dia seperti menyambut cinta gue. Gak seperti cinta
gue yang sebelumnya. Gue lebih merasa akrab dengan Tari karena sering
berbincang saat praktek di lab. Tari juga menghibur gue saat gue galau maksimal.
Tari seperti penawar racun yang menawarkan racun yang udah pekat di hati gue.
Beberapa hari kemudian,gue dapet SMS dari
Tomi. Isi SMSnya begitu mengejutkan. Kurang lebih begini.
“Den,lu udah mulai deket sama Tari kan?
Tembak dong ! Dia curhat sama gue. Dia suka sama lu.. tapi jangan bilang tau
dari gue yaa”
Gue bingung. Campur seneng. Gue seperti
terbang dan memeluk bulan. Logika gue gak jalan. Buktinya gue pengen memeluk
bulan. Padahal bulan ukurannya jauh lebih besar dari gue. Gue langsung menelpon
Tari hari itu juga.
“Halo, tar.. “
“Iya ada apa den?”
Percakapan itu mulai terbuka dan di akhir
percakapan gue mulai mengatakan itu. Kata yang cukup singkat. Karena kebetulan
gue bukan orang yang jago merangkai kata.
“Tar gue suka sama lu,mau jadi pacar gue
gak?”
Kata yang simpel. Klasik,dan
monoton. Tari agak lama menjawabnya. Sekitar dua puluh menit. SMS itu pun tiba.
Jawabannya juga singkat.
“Aku mau den..”
Satu kata yang melukiskan
perasaan gue sekarang adalah “Senang”. Perasaan galau maksimal yang diciptakan
Mervi seperti tidak pernah terjadi. Bagai sirna dan tenggelam di dasar hati.
Kini hati gue kembali utuh. Bekas lukanya sudah hilang. Mulai hari ini gue dan
Tari resmi berpacaran. Tepat di awal bulan. Di tahun yang baru.
Tahun baru waktu itu menjadi tahun baru
yang spesial. Tahun baru itu menciptakan pengalaman baru,yaitu gue pergi ke
perayaan tahun baru di kebun raya Bogor. Dan Cinta yang baru. Cinta gue ke
Tari. Cinta yang tersulut akibat keseringan bertemu. Cinta Lokasi. Cinta Baru.
Mervi. Cinta lama gue,biarkan hanya tenggelam di dasar hati. Tidak usah
diingat. Tapi jangan juga dipaksa lupa.
good luck! :D
BalasHapusWoke bro.. makasih ^^
Hapuscerita buatan sendiri yah gan? mantap lah jilbab khimar
BalasHapus