9 Apr 2018

Wajah Ayah-Ayah

Ruangan kelas kursus gitar itu masih dipenuhi tawa dan sorakan seusai guru pembimbing kelas bertanya kepada Mark.

"Kamu benar masih sembilan belas tahun?"

Pertanyaan itu adalah sarkasme dari seorang guru pembimbing kepada Mark yang sedang memperkenalkan diri saat kelas baru akan dimulai. Guru itu sudah tahu, tentu murid kursus yang ada di kelas ini berumur diantara tujuh belas sampai dua puluh tahun. Pertanyaan itu dia lontarkan kepada Mark, pemuda yang wajahnya tidak sesuai dengan umurnya, hanya bermaksud bercanda.

"Hentikan tertawanya. Saya kan hanya bertanya. Maaf ya Mark, jangan tersinggung." Kata guru pembimbing kepada seisi kelas dan tawa pun mulai mereda.

Mark hanya tersenyum mendengar tawa dari teman-teman kelasnya. Ia tentu tahu sekali tawa itu menandakan setuju kepada pernyataan tersirat dari guru pembimbing bahwa wajahnya tidak sesuai dengan umurnya. Wajah Mark lebih mirip orang berumur tiga puluh tiga tahun, bahkan bisa lebih ketika wajahnya berminyak di siang hari.

Tapi dia sudah terlatih akan hal itu. Sudah sejak umur tiga belas tahun, wajahnya menjadi lebih tua. Banyak kawannya yang bilang begitu, kawan dekatnya memanggilnya 'om', padahal Mark tidak kawin dengan tante kawannya. Awalnya tersinggung, tapi kini Mark lebih memilih menerima hal itu. Kadang malah dia berbicara sendiri saat sedang bercermin.

"Iya yah. Wajahku tua sekali. Kalau lagi di depan cermin begini, jadi ingin salim sama diri sendiri." (salim adalah penghormatan kepada orang yang lebih tua).

Dalam hal asmara, wajah Mark ini seperti rem yang sangat pakem dalam perjalanan pendekatan dengan gadis yang dia suka. Pernah dulu waktu sekolah, dia mendekati seorang gadis. Sudah berhasil lewat dalam tahap pesan singkat. Saat diajak bertemu di sebuah mall, dia malah ditanya oleh gadis itu saat bertemu.

"Pak, lihat anak seumuran saya di sekitar sini? katanya dia menunggu disini, tapi saya gak lihat anak seumuran saya."

Mark langsung jengkel padahal dia dan gadis itu memakai seragam sekolah yang sama.

Tahu bahwa wajah bukan modal terbaik dalam mendekati gadis. Mark memulai mencari keahlian baru. Dalam pencariannya, ia temukan bahwa lelaki yang jago bermain gitar banyak diminati oleh gadis-gadis. Dia melihat itu dari anak band yang ada di televisi. Ditambah lagi, gadis yang sekarang sedang disukainya punya keahlian dalam tarik suara dan sering ikut kompetisi. Mark mengkhayal suatu saat akan mengiringi suara merdu gadis itu dengan petikan gitarnya. Akhirnya dia mendaftar kursus gitar, dan ini hari pertamanya.

Sepulang dari kursus gitar sore itu. Malamnya ada acara resital menyanyi di sebuah auditorium yang paling terkenal di kota. Mark datang ke tempat itu memenuhi undangan dari gadis yang disukainya itu. Undangannya singkat saja. Hanya berkata.

"Nonton aku menyanyi ya Mark!" kata gadis itu singkat lewat pesan suara di telepon genggam.

Sambil membaca itu, dalam hati Mark berkata "Aku pasti datang Lois."

Mulailah acara itu. Mark sudah ada di dalam ruangan resital yang besarnya seperti ruangan bioskop tapi lebih besar sedikit. Bentuk ruangannya yang melengkung bertujuan untuk membuat gema nyanyian menjadi lebih syahdu. Lampu sorot di atas panggung sudah mengarah ke panggung, bersiap menyala apabila sudah saat dimulainya acara. 

Mark menghela nafas, dia sudah tiga kali menonton Lois bernyanyi. Ketiganya lagu klasik dalam bahasa latin yang bahkan satu kata pun tidak ada yang Mark tahu artinya. Tapi dia tetap menikmati setiap jentik nada yang keluar dari pita suara Lois. Lebih dari itu, raut wajah Lois yang menghayati tiap lirik nyanyiannya membuat Mark benar-benar tersanjung.

Konser dimulai, lampu sorot menumpahkan cahayanya ke atas panggung. Panggung menjadi terang bak bintang kejora, sementara tempat penonton redup dari cahaya. 

Dari sejumlah penyanyi yang bernyanyi di acara itu. Tibalah Lois masuk ke panggung. Gaun berwarna biru sangat cocok dengan rambut hitam panjangnya yang terurai sampai bersender di punggungnya. Memberi salam ke penonton, kemudian Lois bernyanyi lagu klasik. Yang kembali membuat Mark hanya tersenyum dan merinding karena suaranya. Boro-boro mengerti artinya, Mark saja tidak tahu itu lagu judulnya apa.

Konser selesai, penonton diberi kesempatan untuk memberikan selamat kepada para penampil di atas panggung. Mark pun menghampiri Lois yang kala itu sedang ada diatas panggung. Mata Lois seperti memanggil Mark untuk datang mendatanginya.

"Aku merinding sekali. Suaramu itu seperti membawa suasana magis." kata Mark sambil tersenyum.

"Berlebihan seperti biasanya, tapi terimakasih Mark sudah datang." kata Lois sambil tertawa kecil.

Lalu tiba-tiba ada orang lain yang menegur Lois. Seorang laki-laki berbadan tegap, wajahnya mirip dengan artis dari amerika. Mungkin dia keturunan bule karena rambutnya juga sedikit pirang.

"Lois, kau tidak bilang kalau ayahmu akan datang?" kata orang itu.

"Ayahku? maksudmu apa Bernard?" 

Lalu lelaki bernama Bernard itu memberikan isyarat menunjuk Mark dengan arah matanya. Mark tahu akan hal itu dan merasakan suasana syahdu berdua dengan Lois menjadi berubah drastis.

"Dia temanku. Namanya Mark. Jangan asal bicara."

"Oh, maaf. Jadi ini temanmu? kita seumuran? wah aku rasa wajah temanmu ini lahir lebih dahulu dari badannya."

"Cukup Bernard!"

Lalu Mark memotong pembicaraan Lois dan Bernard. "Tidak apa Lois, aku izin pulang duluan ya." Mendengar itu, Lois berkata "Mark. Maaf ya. Hati-hati di jalan. Terimakasih."

"Hati-hati di jalan ya wajah boros! Lois akan aman pulang bersamaku!" kata Bernard saat Mark melangkah menjauh dari panggung.

Mark berjalan keluar gedung auditorium dan menuju ke arah motornya yang di parkir. Tapi perut Mark yang kosong sejak tadi sore mengarahkan Mark pada tujuan lain, yaitu kedai bakmi di dekat situ.

Setelah sekitar satu jam makan dan beristirahat sejenak di kedai bakmi itu, Mark pulang menggunakan motornya. Saat itu sudah jam sebelas malam. Jalanan sudah sepi sekali, bahkan untuk ukuran jalan raya hanya ada beberapa kendaraan yang melintas.

Saat mengendarai motornya, di suatu jalan kecil yang tidak terlalu jauh dari gedung auditorium tadi. Mark melihat ada kerumunan anak muda. Mereka anak muda yang menghabiskan malam sambil minum minuman keras dan duduk-duduk di pinggir jalan. Mereka berpakaian serampangan dan seperti sedang mengerumuni seseorang yang pakaiannya berbeda dengannya. Seorang perempuan.

"Lois?" Mark menyadari bahwa gadis yang sedang diganggu oleh kerumunan berandal itu adalah Lois.

Hati Mark berkecamuk. Sisi pertama ia ingin menolong Lois, temannya sekaligus gadis yang dia suka. Sisi lain, Mark takut untuk berkelahi dan tidak punya kemampuan bela diri. Tapi kemudian setelah tekad Mark benar-benar terkumpul, ia pacu gas motornya dengan kecepatan tinggi dan menghampiri kerumunan tersebut.

Turun dari motornya, belum sempat membuka helm Mark langsung teriak dengan lantang ke arah kerumunan berandal itu.

"Hey, hentikan kalian!!" 

Kerumunan itu menengok ke arah Mark. Salah satu dari mereka berkata.

"Siapa kau?" dengan nada bicara orang mabuk.

Hening sejenak, sambil Mark mencoba membuka helmnya yang jadi sulit karena gugup. Kemudian setelah helmnya terbuka. Mark berteriak lagi.

"Saya ayahnya!!!" sambil menyerang ke arah kerumunan itu dengan helm yang ia pegang dengan tangan kanannya.

Kerumunan itu seperti kaget melihat Mark, beberapa dari mereka ada yang berkata.

"Waduh ada bapaknya dateng. Kabur! Kabur!" 

Kemudian kabur lah kerumunan berandal itu dengan membawa botol minuman dan rokok-rokok mereka. Berlari menjauh dari arah Mark. Dan meninggalkan Lois yang sedang menangis, duduk di pinggir jalan.

"Lois? Kenapa kau bisa diganggu berandalan itu? Bernard mana?" tanya Mark.

"Dia meninggalkanku di jalan lalu kabur dengan mobilnya setelah aku menolak cintanya tadi." jawab Lois sambil terisak dengan tangisannya.

"Dia menembakmu di atas panggung tadi?"

"Bukan, saat di mobil. Di parkiran." 

Melihat Lois yang masih menangis. Tanpa banyak tanya lagi, Mark langsung membawa Lois pulang dengan motornya. 

Sesampainya di depan rumah Lois. Tangisan Lois sudah reda. Kini hanya ada bekas mata sembab dan luka di tangannya yang mungkin karena terjatuh tadi saat diganggu berandal.

Mark masuk mengantar ke dalam rumahnya. Kemudian Mark menjelaskan kejadian yang terjadi kepada Lois. Ayah Lois seperti tidak terima dengan kelakuan Bernard, tapi Lois menenangkannya dan bilang untuk tidak usah pedulikan lelaki gila seperti Bernard.  

"Terimakasih sudah mengatarkan Lois ke rumah, Pak Mark." kata Ayah Lois.

Suasana di ruang tamu rumah Lois jadi canggung karena Mark dianggap sudah bapak-bapak. Mark hanya tersenyum kecil. Lois mencoba meluruskan.

"Mark ini teman sekolahku dulu, Yah!"

"Walah. Maaf Mark. Habisnya wajah dan kumismu itu. Ah sudahlah, pokoknya terimakasih sudah mengantar Lois dengan selamat."

Ucapan ayahnya Lois mengantarkan Mark sampai depan pintu rumah. Sedangkan Lois terus mengantar Mark sampai depan gerbang, sampai Mark menaiki motor dan memakai helmnya. Lalu Mark menyalakan mesin motornya sambil berkata.

"Aku pulang dulu, Lois."

"Iya, Hati-hati." kata Lois yang kemudian meraih tangan kanan Mark dan menaruh tangan kanan Mark di kepalanya. Inilah yang disebut 'salim'. 

"Loh, kok salim sih?" kata Mark dengan ekspresi bingung sambil tertawa kecil.

"Ya, kan tadi katanya kau adalah ayahku."

Lalu tawa mereka berdua pecah di tengah sunyinya malam itu. 

Di perjalanan pulangnya ke rumah, Mark merenung. Lois, gadis yang disukainya telah ditolongnya malam ini. Dia merasa dirinya bak superhero yang menolong gadis pujaannya. Tapi Mark sadar dia bukan superhero, bela diri tidak bisa, bahkan main gitar pun tidak.

Tapi malam ini sepertinya dia merasakan sedikit manfaat dari wajahnya yang kelihatan lebih tua dari yang seharusnya. Dia mulai mengerti terkadang kekurangan seseorang bisa jadi juga kelebihannya.

Malam ini, ia merasa hubungannya dengan Lois bukan hanya menjadi Friendzone, tapi mungkin Bapak-AnakZone karena malam ini dia disalimi oleh Lois seperti anak salim kepada orang tuanya. Tapi kemudian dia menyadari satu hal. Bukankah setelah menikah, istri juga akan salim kepada suami?

Khayalan Mark malam ini berterbangan bebas ke arah bintang yang bertabur indah di langit.

1 komentar:

Garing kan? Yuk, kata - katain si penjual krispi biar dia males nulis garing lagi. Silahkan isi di kolom komentar.

Penikmat Crispy

Pemakan Crispy

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...