13 Des 2018

Remah Kata - Bukan dari sini

Tumpukan buku-buku tersusun rapi diatas meja kerja seorang lelaki tua yang sedang  memperbaiki posisi lensa di kacamatanya. Barusan sekali, lensanya lepas dari bingkainya, sehingga membuat dia sulit melihat dan membaca.

Pelan-pelan dia memasukan lensa itu kembali, takut kalau lensa itu pecah kemudian melukai tangannya. Lensa dari kaca memang sensitif. Dia lebih suka lensa yang berbahan plastik. Lebih aman dan tidak mudah pecah. Tapi kata anaknya yang datang setiap akhir pecan ke rumahnya, lensa kaca lebih nyaman untuk melihat dan membaca. Sebagai ayah yang menganggap anaknya lebih mengerti soal ini, dia menurut saja.
Anaknya tinggal di kota, sedang ia masih setia pada rumahnya yang sederhana, satu lantai, dengan pintu kecil yang kalau dibuka bunyinya seperti kuda meringkik. Letaknya di pinggir sebuah danau yang tidak jauh dari kota. Tidak jauh memang, tapi kesibukan memaksa anaknya untuk terus ada disana kecuali akhir pekan tiba. Apalagi mendekati pemilihan wali kota, anaknya yang merupakan kader partai semakin sibuk akhir-akhir ini. Tak jarang dua minggu berlalu tanpa kunjungan.

Lensa kacamatanya telah ia selesai pasang kembali. Ia bisa melihat dengan jelas sekarang. Pandangannya tertuju pada sebuah palu kecil yang terbuat dari kayu yang tergeletak di lantai sudut kamar.

Kamar yang dulu menjadi tempat tidur dia, anak, dan istrinya. Tapi sekarang hanya ada dia, beberapa tumpuk buku, dan meja yang diatasnya ada alat-alat gelas untuk percobaan kimia.

Dia meraih palu itu, mengambilnya. Melihatnya dengan seksama, memutarnya. Memperhatikan motif batik yang menyelimuti palu kayu itu. Bibirnya melengkungkan senyum indah. Palu ini milik anaknya.

Dulu waktu kecil, anaknya sangat ingin menjadi hakim. Ini karena pengaruh dari istrinya yang berprofesi menjadi pengacara. Masa kecil anak itu, dipenuhi dengan cerita-cerita tentang keadilan, dan hukum yang memandang semua orang sama.
Palu itu suka dimainkan anaknya, ketika ia pura-pura menjadi hakim. Sedang ibunya berperan sebagai pengacara, dan dia berpura-pura sebagai terdakwa. Dia menggoyangkan palu itu, mencoba memukulnya ke lantai.

“tok. tok. tok.”

Terdengar bunyi suara ketukan.

Bukan dari lantai akibat ketukan palu lelaki itu. Tetapi suara ketukan dari pintu rumahnya.

Dia mengintip dari lubang kecil yang ada di pintunya, mencoba mencari tahu terlebih dahulu siapa yang ada di depan. Dia intip dan terlihat seorang yang sekiranya berumur tiga puluh tahun, rambutnya hitam, wajahnya seperti dia tinggal di daerah sini, tetapi dia bingung ketika melihat pakaiannya. Seperti pakaian tentara perang zaman dulu.

Dia buka pintunya.

Orang di depan pintu itu memandangnya, juga dia yang semakin jelas memandang orang di depannya sedang memakai pakaian perang serba lengkap ala-ala kerajaan.

“Halo.” kata orang di depan pintu itu, tegas.
“Ya? ada yang bisa saya bantu?”
“Ini dimana?”
“Maksudmu? Ini di Rugobia. Kau tersesat?”

Dia tidak menjawab.

“Boleh aku masuk?”
“Ya, silahkan.”

Tamu itu melangkah masuk dan duduk di kursi kayu di ruang tengah rumahnya.

“Aku, Nurvus pemimpin artileri kerajaan Lambia. Seharunya esok pagi kita harus sudah sampai di hutan Vanaqa, sebelum menyerang kerajaan bilbanoa”

Lelaki tua itu mengernyitkan dahinya. Dia tidak mengenal semua yang disebutkan itu. Dia anggap orang ini mungkin sedang halusinasi atau memiliki gangguan jiwa.

“Sebentar aku ambilkan minum.” katanya kepada tamu itu.

Dia berikan teh yang masih hangat dari dalam termos. Tamu itu meminumnya.

“Sekarang boleh kau ceritakan sekali lagi, siapa kau sebenarnya?”

Dia berharap orang itu sudah akan berkata jujur dan tidak ngawur setelah ia berikan minum. Tetapi sama, ia masih berkata kalau ia adalah pemimpin pasukan artileri kerajaan Lambia. Kali ini dia memaksa dirinya untuk percaya, karena teh yang dia berikan kepada tamu itu mengandung zat kimia yang dapat membuat seseorang menjadi berkata jujur.

Jadi, tamu itu tidak sedang berhalusinasi.

“Lambia itu dimana?” tanyanya pada tamu itu.

“Di arah barat dari tempat ini.”

Setau dirinya, arah barat dari tempat ini adalah kota, dimana anaknya tinggal.

“Itu kota Norfrod, bukan Lambia.”

Pikiran pria itu mulai melayang dan berkhayal aneh-aneh tentang pria itu. Apakah ia penjelajah waktu? ah, itu hanya ada di dalam film menurutnya. Tapi tidak salah untuk bertanya.

“Bagaimana kau bisa sampai tempat ini?”
“Aku sedang berjalan mengelilingi tempat bermukim pasukan kami yang hendak bermalam, aku mengabsen semua pasukanku, dan semua sudah ada di tenda. Pasukan yang berjaga sudah siap pada pos penjagaan. Lalu aku masuk ke tendaku, aku tidur, dan setelah bangun aku sudah ada di tepi danau itu.” Kata tamu itu sambil menunjuk ke arah danau depan rumahnya.

“Kau serius?”

Tamu itu mengangguk, wajahnya mencerminkan rasa gelisah.

“Kenapa penampilan tempat ini dan gaya rumahmu ini berbeda sekali dengan tempat asalku?” Tamu itu berbalik bertanya.

“Justru aku yang bingung melihatmu dengan gaya berpakaian seperti sedang ada acara peringatan budaya. Begini, aku mulai berpikir ngawur, berpikir kalau kau ini dari masa lalu. Iya bukan?”

“Memangnya sekarang tahun berapa?”

“Sekarang tahun 2020.”

Tamu itu berdiri.

Berjalan kearah jendela, melihat kearah danau. Dia berkata pelan.

“Tahun 2098. Sepertinya aku datang dari masa depan.”


(tulisan diatas ditulis dengan random tanpa rencana, menggunakan 3 kata random yaitu : lensa, palu, dan artileri)

Salam Crispy


#day4 #30dwcjilid16 #squad6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Garing kan? Yuk, kata - katain si penjual krispi biar dia males nulis garing lagi. Silahkan isi di kolom komentar.

Penikmat Crispy

Pemakan Crispy

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...