Pelan-pelan dia
memasukan lensa itu kembali, takut kalau lensa itu pecah kemudian melukai
tangannya. Lensa dari kaca memang sensitif. Dia lebih suka lensa yang berbahan plastik.
Lebih aman dan tidak mudah pecah. Tapi kata anaknya yang datang setiap akhir pecan
ke rumahnya, lensa kaca lebih nyaman untuk melihat dan membaca. Sebagai ayah
yang menganggap anaknya lebih mengerti soal ini, dia menurut saja.
Lensa kacamatanya
telah ia selesai pasang kembali. Ia bisa melihat dengan jelas sekarang.
Pandangannya tertuju pada sebuah palu kecil yang terbuat dari kayu yang
tergeletak di lantai sudut kamar.
Kamar yang dulu
menjadi tempat tidur dia, anak, dan istrinya. Tapi sekarang hanya ada dia,
beberapa tumpuk buku, dan meja yang diatasnya ada alat-alat gelas untuk percobaan
kimia.
Dia meraih palu itu,
mengambilnya. Melihatnya dengan seksama, memutarnya. Memperhatikan motif batik
yang menyelimuti palu kayu itu. Bibirnya melengkungkan senyum indah. Palu ini
milik anaknya.
Dulu waktu kecil,
anaknya sangat ingin menjadi hakim. Ini karena pengaruh dari istrinya yang
berprofesi menjadi pengacara. Masa kecil anak itu, dipenuhi dengan
cerita-cerita tentang keadilan, dan hukum yang memandang semua orang sama.
Palu itu suka
dimainkan anaknya, ketika ia pura-pura menjadi hakim. Sedang ibunya berperan sebagai
pengacara, dan dia berpura-pura sebagai terdakwa. Dia menggoyangkan palu itu,
mencoba memukulnya ke lantai.
“tok. tok. tok.”
Terdengar bunyi suara
ketukan.
Bukan dari lantai akibat
ketukan palu lelaki itu. Tetapi suara ketukan dari pintu rumahnya.
Dia mengintip dari
lubang kecil yang ada di pintunya, mencoba mencari tahu terlebih dahulu siapa
yang ada di depan. Dia intip dan terlihat seorang yang sekiranya berumur tiga
puluh tahun, rambutnya hitam, wajahnya seperti dia tinggal di daerah sini,
tetapi dia bingung ketika melihat pakaiannya. Seperti pakaian tentara perang
zaman dulu.
Dia buka pintunya.
Orang di depan pintu
itu memandangnya, juga dia yang semakin jelas memandang orang di depannya
sedang memakai pakaian perang serba lengkap ala-ala kerajaan.
“Halo.” kata orang di
depan pintu itu, tegas.
“Ya? ada yang bisa
saya bantu?”
“Ini dimana?”
“Maksudmu? Ini di
Rugobia. Kau tersesat?”
Dia tidak menjawab.
“Boleh aku masuk?”
“Ya, silahkan.”
Tamu itu melangkah
masuk dan duduk di kursi kayu di ruang tengah rumahnya.
“Aku, Nurvus pemimpin
artileri kerajaan Lambia. Seharunya esok pagi kita harus sudah sampai di hutan
Vanaqa, sebelum menyerang kerajaan bilbanoa”
Lelaki tua itu
mengernyitkan dahinya. Dia tidak mengenal semua yang disebutkan itu. Dia anggap
orang ini mungkin sedang halusinasi atau memiliki gangguan jiwa.
“Sebentar aku ambilkan
minum.” katanya kepada tamu itu.
Dia berikan teh yang masih
hangat dari dalam termos. Tamu itu meminumnya.
“Sekarang boleh kau
ceritakan sekali lagi, siapa kau sebenarnya?”
Dia berharap orang itu
sudah akan berkata jujur dan tidak ngawur setelah ia berikan minum. Tetapi
sama, ia masih berkata kalau ia adalah pemimpin pasukan artileri kerajaan
Lambia. Kali ini dia memaksa dirinya untuk percaya, karena teh yang dia berikan
kepada tamu itu mengandung zat kimia yang dapat membuat seseorang menjadi
berkata jujur.
Jadi, tamu itu tidak
sedang berhalusinasi.
“Lambia itu dimana?”
tanyanya pada tamu itu.
“Di arah barat dari
tempat ini.”
Setau dirinya, arah
barat dari tempat ini adalah kota, dimana anaknya tinggal.
“Itu kota Norfrod,
bukan Lambia.”
Pikiran pria itu mulai
melayang dan berkhayal aneh-aneh tentang pria itu. Apakah ia penjelajah waktu?
ah, itu hanya ada di dalam film menurutnya. Tapi tidak salah untuk bertanya.
“Bagaimana kau bisa
sampai tempat ini?”
“Aku sedang berjalan
mengelilingi tempat bermukim pasukan kami yang hendak bermalam, aku mengabsen
semua pasukanku, dan semua sudah ada di tenda. Pasukan yang berjaga sudah siap
pada pos penjagaan. Lalu aku masuk ke tendaku, aku tidur, dan setelah bangun aku
sudah ada di tepi danau itu.” Kata tamu itu sambil menunjuk ke arah danau depan
rumahnya.
“Kau serius?”
Tamu itu mengangguk,
wajahnya mencerminkan rasa gelisah.
“Kenapa penampilan
tempat ini dan gaya rumahmu ini berbeda sekali dengan tempat asalku?” Tamu itu berbalik bertanya.
“Justru aku yang
bingung melihatmu dengan gaya berpakaian seperti sedang ada acara peringatan
budaya. Begini, aku mulai berpikir ngawur, berpikir kalau kau ini dari masa
lalu. Iya bukan?”
“Memangnya sekarang
tahun berapa?”
“Sekarang tahun 2020.”
Tamu itu berdiri.
Berjalan kearah jendela, melihat kearah danau. Dia berkata pelan.
“Tahun 2098.
Sepertinya aku datang dari masa depan.”
(tulisan diatas ditulis dengan random tanpa rencana, menggunakan 3 kata random yaitu : lensa, palu, dan artileri)
Salam Crispy
#day4 #30dwcjilid16 #squad6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Garing kan? Yuk, kata - katain si penjual krispi biar dia males nulis garing lagi. Silahkan isi di kolom komentar.